Wednesday, 22 May 2013

Catatan Akhir Kelas Inspirasi


“Yeng, lo daftar Kelas Inspirasi donk.”
“Gue udah buka website sih, tapi kan gue belum dua tahun kerjanya juga.”
“Ya udah sih gapapa, Yeng.”
“Gak ah. Kalo jadi relawan mau.”
Naluri, sahabat saya, selalu memaksa saya untuk daftar Kelas Inspirasi yang mana tahun ini diadakan juga di Bandung. Bukannya tidak mau, Lur. Namun, saya merasa belum “matang” untuk “cukup” untuk menginspirasi.
**
Selasa, 19 Februari 2013
Suasana pagi di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sindangsari V cukup sejuk. Anak-anak mulai berdatangan. Ada yang membawa sepeda, berjalan kaki, dan juga diantar dengan kendaraan bermotor. Pukul 7 pagi itu, SDN Sindangsari V tidak terlihat seperti biasanya. Akan ada “kejutan” yang diberikan untuk anak-anak yang mungkin tidak akan mereka sadari hingga beberapa tahun kedepan.
“Selamat pagi, adik-adik!”
“Selamat pagi, Kak!”
“Perkenalkan, nama kakak Rahyang Nusantara”
“Siapa??”
“Rahyang Nusantara.”
“Kakak disini akan mengajak adik-adik semua untuk berbicara tentang cita-cita. Sebelum kakak mulai, apakah disini ada yang mau bercerita tentang cita-citanya?”
Tidak ada yang menjawab.
“Oke, kakak mau cerita nih tentang pekerjaan yang kakak lakukan saat ini. Adik-adik pernah ada yang mendengar kata “media”?”
Lagi, tidak ada yang menjawab.
“Hmmm. Kalo televisi? Radio? Koran? Pernah ya? Nah, itu salah satu bentuk-bentuk dari media yang kakak sebut tadi. Tapi, bedanya kakak bekerja untuk online atau internet. Ada yang punya Facebook disini?”
Hampir semua anak mengacungkan tangannya.
“Wah, nanti kalau adik-adik lagi buka Facebook cari Diet Kantong Plastik yah!”
Ya, saat itu saya mewakili Greeneration Indonesia dan juga “menggantikan” posisi teman saya yang seharusnya menjadi inspirator pada hari itu. Saya, seorang Koordinator Media Program Diet Kantong Plastik (saat itu belum berganti nama menjadi Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik), dengan cukup percaya diri menyanggupi untuk menggantikan Shelly Asmauliyah, yang berhalangan hadir, dan mewakili Greeneration Indonesia, tempat saya berkarya.
“Kakak bekerja sebagai Koordinator Media Program Diet Kantong Plastik. Nah, adik-adik disini pernah mendengar kata “diet”?”
“Diet badan!”
“Diet makanan!”
Beberapa sangat antusias menjawab pertanyaan. Sesekali dengan tawa. Tawa khas anak-anak.
Di Greeneration Indonesia, saya memegang amanah yang cukup berat, Koordinator Media Program Diet Kantong Plastik. Sebelumnya, selama satu tahun saya menjadi relawan di kantor saya ini dengan tugas yang sama, yaitu media dan spesifik di media online. Profesi yang cukup familiar didengar oleh kalangan penduduk kota, tetapi ternyata tidak sefamiliar yang ada di pikiran adik-adik disana, padahal mereka juga tinggal di tengah-tengah kota.
 
Ada 13 sekolah dasar yang menjadi target Kelas Inspirasi Bandung tahun ini, salah satunya SDN Sindangsari V. Masing-masing sekolah dasar didatangi satu kelompok yang sudah dibentuk sebelumnya oleh panitia. Kelompok inspirator di sekolah ini berasal dari berbagai macam latar belakang. Pak Grandis Hendra, merupakan dosen teknik di ITB. Nancy Margried, CEO Batik Fraktal dan juga aktifis urban di Bandung Creative City Forum. Santi Setyaningsih, yang merupakan research analyst . Tyagita, yang merupakan ahli lingkungan untuk  perusahan multinasional. Dan, saya yang paling muda diantara inspirator lain. Selain itu, ada dua orang fotografer yang membantu mengabadikan momen-momen langka ini, Ayu dan Teh Fitri. Masing-masing dari kita mendapatkan jatah untuk “menginspirasi” empat kelas.

“Sekarang gantian yah yang cerita, siapa disini yang berani maju ke depan untuk bercerita tentang cita-citanya?”
Mereka saling menunjuk. Akhirnya saya mendatangi salah seorang anak yang lebih banyak ditunjuk dan disebut namanya.
“Hey, siapa nama kamu?”
“Anita”
“Oke, Anita. Cerita donk, cita-cita kamu apa?”
“Mau jadi dosen, kak.”
“Wah, keren. Kenapa kamu mau jadi dosen?”
Si anak hanya tersenyum.

Di kelas yang lain, saya juga melakukan hal yang sama. Kali ini ada anak laki-laki yang menurut saya memiliki kebutuhan untuk mendapatkan “pengakuan” lebih, terlihat dari bagaimana dia menguasai kelas. Saya cukup kewalahan untuk mencoba mengambil alih “kekuasaan”, tetapi anak itu memiliki energi yang lebih besar dari saya. Saya pikir anak ini punya potensi besar di dalam dirinya yang tidak tersalurkan saat dia bersekolah sehari-hari. Cita-cita dia menjadi seorang pemain sepak bola. Menurut saya, dia juga berpotensi untuk menjadi seorang musisi handal.
**
“Halo, Rahyang?”
“Ya, ini dengan siapa?”
“Bhawi nih, Yeng”
“Oh, iya Kang. Ada apa?”
“Mau jadi inspirator gak pas Kelas Inspirasi tanggal 19?”
“Hah? Orang gak daftar kok”
“Iya. Jadi, ini ada yang mengundurkan diri dan kekurangan orang. Butuh pengganti. Tian (manajer saya di kantor, dan juga inspirator Kelas Inspirasi, red) ngerekomendasiin kamu.”
“Hmmmmm, ada dokumen yang bisa aku baca dulu gak?”
“Ada, nanti dikirim sama Naluri”
“Oke, Kang. Nuhun”
Bhawika adalah koordinator Kelas Inspirasi Bandung, teman saya dan Naluri.
 
**
Semua inspirator berkumpul di Simpul Space, salah satu ruang publik di Bandung, untuk melakukan refleksi bersama setelah menginspirasi adik-adik di sekolah dasar. Ternyata cukup banyak inspirator yang saya kenal. Beberapa dari mereka adalahpublic figure yang sayangnya tidak semua bisa menghadiri sesi refleksi ini. Dari sesi refleksi ini ada kesimpulan yang didapat dari para inspirator, yaitu:
  1. Cita-cita favorit: dokter, pemain sepak bola, dan artis. Dalam pikiran mereka, tidak ada pilihan lain yang terbayang selain tiga profesi tersebut.
  2. Sistem pendidikan dasar di Indonesia belum memfasilitasi secara penuh soft skilluntuk murid.
  3. Fasilitas masing-masing sekolah untuk tidak merata.

Saya sendiri melihat bahwa peran serta pemerintah, guru, dan orang tua murid untuk membuat kondisi yang optimum untuk anak belajar masih belum sinergis. Menurut saya, perlu adanya suatu ekstrakurikuler atau fasilitas lain di luar akademik sebagai media penyaluran minat dan bakat anak.
Dari sesi ini juga kita merasa, seperti yang dikatakan Farhan, bahwa kita bukan menginspirasi mereka (adik-adik di sekolah dasar), melainkan kita yang terinspirasi oleh mereka. Sekolah yang kelompok saya datangi merupakan satu-satunya sekolah dengan derajat sosial yang paling rendah. Di sekolah tersebut hanya memiliki empat ruang kelas yang dibagi untuk 6 kelas dan pembagian kelas pagi dan siang. Dua ruang untuk guru dan kepala sekolah dan toilet. Lebih sedih lagi, Ibu Kepala Sekolah berkata bahwa hampir 50% murid yang lulus dari sekolah dasar ini sudah dipastikan tidak akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi karena faktor ekonomi. Kebanyakan dari mereka sudah harus menghadapi dunia yang “sesungguhnya” untuk usia sedini itu. Ya, mereka bekerja untuk membantu orang tua demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun demikian, sepanjang saya mengajak mereka berdiskusi tentang cita-cita, tidak sedikitpun saya melihat ada kekecewaan atau kesedihan dari wajah mereka. Mereka tetap semangat dan penuh suka riang, meski kondisi kehidupan mereka tidak seberuntung saya atau teman-teman inspirator lain. Pelajaran yang saya dapatkan dari mereka adalah bagaimana saya bisa bersyukur terhadap apa yang saya miliki saat ini dan bagaimana bisa memaksimalkan kondisi itu untuk berbagi dan berguna untuk orang lain, serta berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi, melalui sebuah cita-cita. Ya, cita-cita yang mungkin dirasa tidak mungkin dicapai, tapi jika kita kerja keras untuk mendapatkan apa yang kita cita-citakan, bukan tidak mungkin Tuhan membuat itu menjadi nyata. Dream, Believe, and Make it happen (Agnes Monica).
Photo Courtesy:Ayu dan Fitri (Fotografer Kelas Inspirasi Bandung, 2013)

No comments: