Wednesday, 4 September 2013

Cara lain mengompos sampah organik

Ada dua langkah sederhana yang bisa kita lakukan untuk menanggulangi masalah persampahan. Langkah pertama adalah memisahkan sampah berdasarkan jenisnya. Seperti yang kita ketahui bahwa bahan dasar yang ada di planet bumi ini ada dua jenis, yaitu bahan organik (berasal dari hewan dan tumbuhan) dan non organik (bukan berasal dari hewan atau tumbuhan secara langsung, seperti bahan tambang dan lain sebagainya). Kemudian, langkah kedua dimana kita memanfaatkan hasil dari pemisahan sampah tersebut. Sampah organik bisa kita jadikan kompos dan sampah non organik bisa dipakai ulang atau didaur ulang (diberikan kepada pihak yang kompeten). Mari kita membahas pengomposan sampah organik!

Sudah hukum alam apabila bahan organik itu akan hancur dengan sendirinya. Namun, permasalahan yang terjadi saat ini adalah kesalahan manusia dalam mengambil produk alam yang berlebihan dan pembuangan yang tidak bertanggung jawab. Berdasarkan Hukum Keberlanjutan 3, yaitu "pembuangan ke alam tidak lebih cepat dari kemampuan alam untuk memurnikan kembali limbah tersebut", dapat disimpulkan bahwa manusia membuang sampah (khususnya organik yang berjumlah 50% dari total sampah yang dikeluarkan dari rumah) dengan cepat dan alam memiliki kemampuan terbatas untuk mengurai sampah tersebut. Benar apabila sampah organik akan terurai di alam, tetapi prosesnya akan berbeda untuk setiap jenis sampah. Daun pisang akan terurai lebih lama ketimbang sisa sayuran dapur. Oleh karena itu, manusia membuat inovasi lain yang bisa membantu alam untuk mengurai sampah organik.

Masyarakat di desa biasanya membuang sampah-sampah organik yang mereka hasilkan dari aktivitas masak memasak langsung ke lubang yang mereka buat di depan halaman rumah mereka. Jika lubangnya penuh, mereka akan membuat yang baru. Kebanyakan halaman rumah di desa itu luas, berbeda dengan kota yang bahkan ada yang tidak punya halaman. Maka dari itu, inovasi dalam melakukan pengomposan dibutuhkan untuk bisa digunakan oleh masyarakat kota. 

Pernah mendengar metode pengomposan keranjang Takakura atau biopori? Dua metode tersebut merupakan metode yang dikembangkan oleh ilmuwan. Keranjang Takakura dikembangkan oleh Pusdakota Surabaya yang dibantu oleh ilmuwan Jepang, yaitu Koji Takakura. Sedangkan, biopori dikembangkan oleh ilmuwan dari Institut Pertanian Bogor. Penggunaan keranjang Takakura sendiri diperuntukkan untuk di dalam rumah. Dengan menggunakan keranjang plastik yang didalamnya dimasukkan kompos (atau starter kompos), sehingga sampah organik tinggal dimasukkan dan dikubur di dalam keranjang Takakura. Sampah organik yang bisa dimasukkan ke dalam keranjang ini berkisar antara 0,5-1 kg per harinya dan akan penuh sekitar 2-3 bulan. Setelah itu, kita akan mendapatkan bonus berupa kompos yang bisa kita gunakan sebagai pupuk untuk tanaman kita. Lain halnya dengan biopori yang dibuat dengan bor terbuat dari besi. Pembuatan lubang berdiameter 10 cm dan kedalaman 1 m di halaman rumah yang cenderung terbatas ini bertujuan untuk memasukkan sampah-sampah organik, mayoritas berupa dedaunan kering ataupun sampah organik yang sulit diurai dengan menggunakan metode Takakura, seperti tulang dan daun pisang. Adanya sampah pada lubang akan merangsang makroorganisme tanah, seperti golongan Mollusca atau Insecta, untuk mendatangi sumber bahan organik itu. Nah, jalanan yang mereka lewati akan membuat lubang-lubang kecil yang disebut biopori. Adanya lubang-lubang mikro ini selain menggemburkan tanah, bermanfaat juga untuk penyerapan dan penyimpanan air tanah. 

Infografik Lubang Resapan Biopori
Infografik keranjang Takakura

Ada satu lagi metode yang cukup dikenal dalam metode pengomposan, yaitu pengomposan dalam drum plastik. Kalau metode di atas hanya menghasilkan kompos padat, lain halnya dengan metode pengomposan dalam drum plastik ini. Selain mendapatkan kompos padat, metode pengomposan dalam drum plastik ini juga menghasilkan kompos cair. Selain itu, alatnya pun hanya menggunakan drum plastik dengan perlakuan di dalamnya, yaitu pipa yang digunakan untuk pertukaran udara keluar masuk dan juga saringan untuk mengalirkan cairan yang dihasilkan dari penguraian sampah organik. Sampah organiknya pun tinggal dimasukkan saja tanpa perlu dicacah terlebih dahulu, seperti pada keranjang Takakura. 

Drum pengomposan

Sampah organik tinggal dimasukkan saja ke dalam drum,
tanpa perlu dicacah

Kompos cair hasil dari pengomposan

Perbedaan dengan keranjang Takakura adalah metode dalam drum ini tidak membutuhkan starter kompos, tapi menggunakan EM4, ragi kompos, atau kompos yang ditaburkan secukupnya di bagian atas sampah organik yang berfungsi untuk mempercepat proses penguraian, karena bahan-bahan tersebut mengandung bakteri yang membantu proses penguraian. Drum pengomposan yang diberi nama "Composter Merah Putih" bisa didapatkan di Kemayoran (dekat ITC Cempaka Mas), Jakarta. Pemiliknya bernama Melo Tampubolon, yang merupakan almuni sekolah pelayaran. 

Melo Tampubolon (paling kanan gambar) pemilik Composter Merah Putih
berfoto bersama tim Program Greeneration Indonesia

Poin penting dari inovasi pengomposan buatan manusia ini tidak terlepas dari peran serta manusia untuk merawatnya. Mau metode manapun ada batasnya, sama seperti yang dijelaskan dalan Hukum Keberlanjutan 3. Jadi, silahkan pilih metode pengomposan yang diinginkan dan jangan lupa untuk merawatnya secara rutin agar hasil yang diharapkan bisa dimanfaatkan! (RN)

No comments: