Friday, 8 November 2013

SAVE CEKUNGAN BANDUNG, NO INCINERATOR


Pada awalnya incinerator merupakan solusi di Negara maju yang tidak memiliki lahan yang cukup untuk mengelola sampah, dalam perkembangannya insinerator malah menyebabkan masalah yang lebih krusial. Di Inggris incinerator berdampak pada penurunan kualitas kesehatan warga, terutama penyakit kulit, hati dan pernapasan, di Cina telah mengakibatkan beberapa penduduknya mengalami kanker otak, selain itu juga telah berdampak pada penurunan populasi bald eagle di gulf coast, florida serta flora dan fauna lainnya dibeberapa Negara maju dan Negara berkembang lainnya. Dampak polutip yang sangat berbahaya akibat adanya incinerator adalah dampak dari dioxin dan furan yang ikut migrasi dalam rantai makanan. Seperti yang dialami kandidat presiden ukraina Yushchenko pada tahun 2004 beliau keracunan dioxin dengan gejala sakit punggung dan kelumpuhan muka di bagian kiri yang tidak bisa disembuhkan (Prof. dr. Juli Soemirat S, MPH, Ph.D. – FTSL-ITB).

Akibat dampak buruk yang diakibatkan oleh incinerator maka masyarakat internasional menyepakati untuk memperingati hari anti incinerator setiap tanggal 8 November. Semua pihak pasti bersepakat pengelolan sampah harus berpijak pada pemenuhan keadilan ekologi, perlindungan ruang hidup dan keselamatan ekosistem. Pengelolaan sampah di kota Bandung, Cekungan Bandung dan Jawa Barat dalam jangka panjang harus memastikan terwujudnya keadilan ekologi dan tidak merugikan pihak manapun, baik kita sendiri, orang lain dan anak cucu kita.

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang akan dibangun di Kota Bandung tak lebih dari sebuah bentuk pengelolaan sampah tersentralisasi dengan menggunakan Mesin Pembakar Sampah (INSINERATOR) yang dipadukan dengan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Paradigma pengelolaan yang tetap tersentralisasi rentan membawa kota Bandung kembali ke bencana sampah tahun 2005 (kita tidak bisa melupakan tragedi kematian sekitar 157 orang dan hancurnya pemukiman warga akibat longsor TPA sampah Leuwi Gajah tanggal 21 Februari 2005 di Cireundeu). Tidak menutup kemungkinan Incinerator malah bisa berdampak lebih dari sekedar bencana, selain itu juga Incinerator tidak menjamin aspek pemenuhan keadilan ekologi.

PLTSa bukanlah teknologi tinggi yang ramah lingkungan. Kita pun ingat almarhum Prof Dr Otto Sumarwoto menentang penggunaan dan pembangunan PLTSa di Indonesia karena beresiko timbulnya korban dan terjadinya krisis ekologi. Kita patut menolak pembangunan PLTSa karena :
a. Pengelolaan yang tersentralisasi tetap menyimpan risiko yang sama dengan yang dulu. Kalau leuwigajah bisa meledak apalagi insinerator? kalau seluruh pengelolaan sampah kota Bandung bergantung pada PLTSa akan tercipta sistem yang rentan krisis

b. Pengelolaan sampah yang menyangkut hajat hidup orang banyak sungguh berbahaya kalau dikuasai oleh sebuah perusahaan yang bekerja untuk kepentingan bisnis.

c. Undang-Undang No 18 tahun 2008 sudah memandatkan pengelolaan sampah yang menuju pengurangan sampah dari sumber sampah, yaitu kita semua, sehingga pendekatan end of pipe seperti insinerator (termasuk TPA dengan sistem apapun) harus segera ditinggalkan pemerintah daerah di mana pun.

Demi keadilan ekologi, solusi pengelolaan sampah kota Bandung ke depan bisa dilakukan dengan :
a. Mendukung penerapan Undang-Undang No 18 tahun 2008 dengan mengembangkan sistem zero waste berdasarkan metoda 3R.
b. Mengembalikan pengelolaan sampah kepada pemerintah dengan mendepankan partisipasi warga, tidak diserahkan kepada perusahaan.
c. Melakukan edukasi dan pemberdayaan kepada warga dan komunitas menuju pengelolaan sampah yang terdesentralisasi.

Untuk mengisi Petisi Online “Tolak PLTSa berbasis INSINERATOR” silahkan mengunjungi Change Indonesia

SALAM ADIL DAN LESTARI
Bandung, 8 November 2013
WALHI JAWA BARAT 
 
Sumber: Siaran Pers Walhi Jawa Barat

No comments: