Showing posts with label sampah. Show all posts
Showing posts with label sampah. Show all posts

Sunday, 30 August 2015

Walking the Talk is (Not) Easy

Ada dua tulisan yang sangat kontroversi pernah saya publikasikan. Tulisan-tulisan itu sengaja saya tulis bukan untuk menjadi hater, tetapi untuk mengangkat fenomena yang memang terjadi di sekitar saya. Tulisan kontroversi pertama saya adalah "Dosa Ekologis Dalam Perayaan Earth Hour" yang ditulis pada tahun 2012 (sempat menjadi headline). Saat itu saya tergabung dalam kampanye global tersebut sebagai relawan. Tulisan kedua adalah "Surat Terbuka untuk Peserta dan Penyelenggara Kontes Kecantikan Lingkungan" yang ditulis tahun 2014. Surat ini saya buat, karena kesal dan gemes melihat banyak orang berlomba-lomba mendapatkan gelar "duta lingkungan", tetapi kontribusinya minim. 

Dua tulisan di atas merupakan kritikan yang saya tulis kepada pihak luar. Pada kali ini, saya mencoba memberikan kritik terhadap program yang mana organisasi (dan juga saya tentunya) saya terlibat sebagai penyelenggara. Keberanian mengkritik orang lain harus diimbangi dengan keberanian mengkritik diri sendiri. Untuk apa? Supaya bisa lebih baik lagi dong

*****

Sejak tahun 2010, Kota Bandung memilliki komitmen untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Hal itu dibuktikan dengan munculnya Surat Edaran dari Walikota Bandung saat itu terkait pengurangan kantong plastik dan juga kampanye yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung di pusat belanja bersama dengan pelaku usaha. Di tahun yang sama pula, diluncurkan Kampanye Diet Kantong Plastik oleh Greeneration Indonesia dan Circle K. Tak hanya sampai disitu, tahun 2012 Pemerintah Kota Bandung meresmikan Peraturan Daerah (Perda) No.17 tahun 2012 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik". Hal ini merupakan gebrakan luar biasa bahwa Pemerintah Kota Bandung berani membuat regulasi seperti ini. Peraturan seperti ini hanya terjadi di Kota Bandung. Kabupaten/kota lain belum ada yang membuat peraturan serupa. Perda tersebut diluncurkan di tahun yang sama dengan mengundang pelaku usaha dan menandatangani komitmen bersama dalam mengurangi penggunaan kantong plastik. 

Surat Edaran Walikota Bandung Tahun 2010 tentang
Himbauan Untuk Mengurangi Penggunaan Kantong Plastik

Papan komitmen yang ditandatangani oleh pemerintah, sekolah, dan swasta.
Sejak saat itu, kampanye pengurangan kantong plastik gencar dilakukan di Kota Bandung. Greeneration Indonesia sebagai salah satu organisasi yang gencar melakukan kampanye ini. Kampanye diet kantong plastik, yang dipopulerkan dengan tagar #DietKantongPlastik di media sosial, mulai menyebar luas. Tak hanya di Kota Bandung, kampanye pengurangan kantong plastik mulai menyebar ke Aceh, Jakarta, Tangerang, Solo, Yogyakarta, Denpasar, Makassar, dan daerah-daerah lainnya. Kota Bandung menjadi barometer dalam penerapan peraturan dan kampanye pengurangan penggunaan kantong plastik. 

Dua tahun berjalan, hingga 2014 tidak terlihat tanda-tanda Perda tersebut efektif. Namun, Pemerintah Kota melalui Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH), memiliki program untuk inventarisasi kantong belanja. Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP/dulunya dibawah Greeneration Indonesia hingga 2013, mulai 2014 menjadi organisasi yang independen) membantu dalam pelaksanaan inventarisasi tersebut. Inventarisasi ini merupakan bagian dari tahapan implementasi Perda, tahapan lainnya adalah pencanangan kawasan pengurangan penggunaan kantong plastik dan rencana aksi daerah pengurangan penggunaan kantong plastik. Inventarisasi yang dilakukan tahun 2014 dilakukan di tiga pusat belanja, yaitu Istana Plaza, Cihampelas Walk, dan Trans Studio Mall. Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa lebih dari 70% tenant pada masing-masing pusat belanja masih menggunakan kantong plastik sebagai wadah belanja. Beberapa tenant lainnya dalam persentasi yang lebih kecil menggunakan kantong belanja berjenis kertas dan lain sebagainya. Hasil inventarisasi ini perlu dilanjutkan dengan menambahkan data jumlah kantong belanja yang dikeluarkan tenant dalam hitungan hari atau bulan. Hingga saat ini belum ada rencana untuk melanjutkan inventarisasi. 

Provinsi DKI Jakarta mulai terlihat ingin mengikuti jejak Kota Bandung. Tahun 2013, Gubernur DKI Jakarta mengeluakan Surat Seruan terkait Gerakan Diet Kantong Plastik pada Festival Jakarta Great Sale. Meski hanya Carrefour yang merespons surat tersebut, hal ini membuktikan bahwa Jakarta pun tak ingin ketinggalan untuk melakukan upaya pengurangan penggunaan kantong plastik. Meski di tahun berikutnya dikeluarkan Surat Edaran serupa untuk Gerakan Jakarta Diet Kantong Plastik, belum terlihat lagi keseriusan dari pihak pemerintah untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. 

Surat Seruan Gubernur untuk Gerakan Diet Kantong Plastik di Jakarta (2013)
Surat Seruan Gubernur untuk Gerakan Jakarta Diet Kantong Plastik (2014)

Provinsi Bali pun tak mau kalah. Bye Bye Plastic Bags yang digawangi anak-anak remaja ekspatriat melakukan penandatangan komitmen dengan Gubernur Bali pada tahun 2014 lalu untuk menjadikan Bali Bebas Kantong Plastik. Meski belum ada peraturan daerah, Bali memiliki komitmen bahwa mulai tanggal 1 Januari 2016, Bali akan bebas dari kantong plastik. 

MoU Bye Bye Plastic Bags dengan Gubernur
untuk mengurangi penggunaan kantong plastik (hal.1)
MoU Bye Bye Plastic Bags dengan Gubernur 
untuk mengurangi penggunaan kantong plastik (hal.2)
Tiga tahun umur Perda di Bandung, belum cukup terlihat bahwa Perda tersebut efektif mengurangi penggunaan kantong plastik. Saya selalu mengatakan kepada media massa bahwa satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki peraturan dalam mengurangi penggunaan kantong adalah Bandung. Hal tersebut saya lakukan untuk menunjukkan kepada kabupaten/kota lain dan juga Pemerintah Kota Bandung bahwa upaya ini perlu dilakukan dengan serius. Hingga akhirnya Pemerintah Kota Bandung memiliki rencana kampanye besar yang akan dilakukan tahun 2015. 

Obrolan mengenai kampanye ini sudah didiskusikan sejak awal tahun. Hingga beberapa minggu sebelum pelaksanaan kampanye, baru jelas kapan kampanye ini akan dilaksanakan. Meski beberapa kali berganti jadwal, akhirnya pada tanggal 27 Agustus 2015 lalu, Kampanye Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik dilaksanakan oleh BPLH Kota Bandung, dengan menunjuk Rase FM sebagai penyelenggara dan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik sebagai mitra komunitas. Trans Studio Mall (TSM) ditunjuk sebagai tuan rumah. TSM juga akan dijadikan sebagai percontohan "Kawasan Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik". Padahal, menurut laporan hasil inventarisasi tahun 2014, TSM belum layak dijadikan "Kawasan Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik".

Pada proses persiapan kampanye ini, ada beberapa pertemuan yang dipimpin oleh BPLH untuk berdiskusi terkait konsep kampanye. Pertemuan dihadiri oleh dinas-dinas terkait, asosiasi ritel (Aprindo), asosiasi factory outlet, perhimpunan hotel (PHRI), dan GIDKP. Sejak awal, Pemerintah Kota Bandung memang merencanakan bentuk kampanye ini adalah seremonial. Bentuk seremonialnya adalah talkshow, penandatanganan komitmen, dan pemberian apresiasi. Ada hal yang menarik pada pertemuan ini. Aprindo menegaskan bahwa bukan waktunya lagi untuk kegiatan yang sifatnya seremonial. Menurut Aprindo, anggota ritel yang tergabung sudah melakukan upaya pengurangan kantong plastik. Lebih lanjut, yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana membuat kampanye ini lebih berkelanjutan. Kegiatan "penandatanganan komitmen" sudah dilakukan dua kali. Pertama, saat peluncuran kampanye pengurangan penggunaan kantong plastik tahun 2010 di hypermarket Giant Pasteur dan yang kedua adalah saat peluncuran Perda tahun 2012 di factory outlet The Secret Jalan Riau. Pelaku usaha, dalam hal ini ritel, sudah menunjukkan komitmennya dalam upaya pengurangan penggunaan kantong plastik, seperti menyediakan tas belanja pakai ulang yang bisa dibeli, menyediakan kardus, program cashback untuk konsumen yang membawa tas belanja sendiri, dan yang lebih simpel adalah menanyakan terlebih dahulu kepada konsumen apakah butuh kantong plastik atau tidak. Mereka malah mempertanyakan balik komitmen pemerintah dalam isu ini. 

Inisiatif yang dilakukan pelaku usaha (ritel) untuk mengurangi penggunaan kantong plastik.
(Foto oleh Eko Triraharjo untuk GIDKP)

Karena program kampanye ini sudah direncanakan dan dianggarkan oleh pemerintah sejak tahun sebelumnya, maka harus dijalankan pada tahun ini. Meski banyak masukan dari pihak luar (dalam hal ini Aprindo), karena ini terkait pertanggungjawaban pemerintah terkait perencanaan program di akhir tahun, maka harus tetap dilaksanakan sesuai perencanaan awal. Kampanye ini dilakukan dengan persiapan yang sangat sangat singkat. Bahkan koordinasi dengan event organizer yang ditunjuk pun terbatas karena mereka juga sibuk mengurusi program dari dinas lainnya. Hingga disadari bahwa tidak ada publikasi untuk kampanye ini, baik melalui siaran pers maupun media sosial. 

Pihak BPLH menginginkan bahwa pengunjung yang hadir mendapatkan paket berisi konsumsi (camilan dan air minum) dan tas belanja. Kami dari GIDKP merekomendasikan alternatif lain untuk menjaga kampanye pengurangan timbulan sampah. Mereka setuju bahwa konsumsi akan disediakan dengan konsep prasmanan dan pengunjung bisa mengambil camilan secukupnya dengan diwadahi piring rotan yang juga disediakan. Air minum pun akan dikondisikan minim sampah plastik, dengan menyediakan air dalam galon dan paper cup. Sehingga dari konsumsi hanya akan menghasilkan sampah bungkus plastik dari beberapa camilan, daun pisang, dan paper cup. Akan beda ceritanya jika konsumsi yang disajikan dalam kotak-kotak kardus kecil yang akan menghasilkan sampah lebih banyak.

Hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Acara dilaksanakan di Plasa TSM mulai pukul 1 siang hingga 4 sore. Acara dihadiri oleh Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ibu Ir. Tuti Hendrawati Mintarsih, MPPM. Didampingi oleh Direktur Persampahan KLHK, Bapak Sudirman dan jajaran lainnya. Acara juga dibuka oleh Walikota Bandung, Ridwan Kamil. 

Kiri-kanan: Ibu Tuti, Ridwan Kamil, dan Pak Sudirman (Foto oleh Eko Triraharjo untuk GIDKP)

Anyway, sebelum acara berlangsung sempat ada debat sedikit terkait konsumsi. Disinyalir konsumsi kurang, padahal tim GIDKP sudah mempersiapkan konsumsi untuk 600 orang. Pembelajaran dari acara-acara sebelumnya, konsumsi selalu berlebih (dan hal ini terjadi juga pada kampanye ini). Selain itu, pihak BPLH menganggap bahwa piring rotan berukuran terlalu besar untuk digunakan. Sehingga akhirnya, mereka memutuskan untuk tidak menggunakan piring rotan dan membeli lagi tambahan konsumsi. Sayangnya, mereka membeli konsumsi dengan menggunakan kantong plastik! Hal yang saya takut-takutkan jika melakukan kampanye besar seperti ini adalah masih ada orang-orang yang belum berjalan bersama. Hal tersebut masih terjadi, bahkan di lembaga yang mengampanyekan dan membuat regulasi untuk mengurangi kantong plastik. Meskipun masih dalam konteks "mengurangi", bukan berarti dibenarkan juga jika masih menggunakan kantong plastik pada kampanye pengurangan kantong plastik. Bukankah seharusnya kita menjadi contoh bagaimana mengurangi kantong plastik kepada publik? 

Air minum dalam kemasan masih menjadi jebakan kampanye lingkungan
Piring rotan yang tidak terpakai. 

Kampanye ini pun kecolongan air minum dalam kemasan. Kami sangat mengapresiasi dan berterima kasih kepada semua pihak yang berpartisipasi dan mendukung kampanye ini. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) juga ingin ikut berpartisipasi dalam kampanye ini. PDAM memberikan beberapa kardus berisi air minum dalam kemasan gelas plastik. Meski tetap menyediakan air galon, air minum dari PDAM ini tetap disediakan. Akhirnya, sampah gelas plastik pun banyak. 

Meski secara teknis penyelenggaraan acara juga masih cukup kacau, seperti pada prosesi penandatanganan komitmen dan pemberian apresiasi, tetapi yang menjadi highlight dalam kampanye ini adalah kurang tersampaikannya pesan dalam pengurangan kantong plastik yang tercermin dari penyelenggaraan kampanye. Selain urusan konsumsi, ternyata tidak ada tim yang menangani sampah. Konsep zero waste event tidak dilakukan dalam kampanye ini. Meski BPLH menyediakan kantong sampah terpilah, dikarena tidak adanya tim zero waste event, maka pengelolaan sampah sangat tidak terkontrol. Bahkan saya tidak melihat tim dari PD Kebersihan yang mengelola sampah-sampah yang timbul dari awal hingga akhir acara. Padahal mereka menyatakan kesiapannya di setiap pertemuan persiapan. Tidak diketahui alasan mereka tidak muncul. Alhasil, petugas kebersihan TSM yang menmbersihkan. Sampah pun tetap tercampur meski kantong sampah sudah dibedakan dengan warna (hijau untuk sampah organik dan putih untuk anorganik) dan diberi tulisan keterangan. Mendadak pengunjung "buta aksara" dan tidak membuang sampah dengan benar. Padahal sebagian besar pengunjung adalah sekolah yang dinyatakan sebagai yang memiliki wawasan lingkungan dan mendapatkan penghargaan Adiwiyata! Bahkan salah satu dari mereka membeli makan siang dengan menggunakan kemasan styrofoam! Hal ini terlihat oleh tim relawan GIDKP karena lokasi booth yang bersampingan. 

Salah satu sekolah Adiwiyata yang ikut kampanye. (Foto oleh Eko Triraharjo untuk GIDKP) 

Papan tandatangan komitmen. Lihat sampah enggak? (Foto oleh Eko Triraharjo untuk GIDKP)

Memang, ternyata kolaborasi lintas sektor itu tidak mudah. Perbedaan pemahaman dalam menilai sesuatu menjadi tantangan yang dihadapi. Meski secara lembaga memiliki kampanye yang sama, belum tentu orang dibaliknya memiliki pemahaman yang sama terhadap kampanye itu. Apalagi isu lingkungan erat kaitannya dengan sikap (attitude) dan perilaku (behaviour). Saya yakin semua orang yang hadir pada kampanye tersebut mengetahui bahwa sampah adalah sesuatu yang harus dikurangi. Apalagi kampanye ini mengenai pengurangan penggunaan kantong plastik, banyak orang tahu bahwa membawa tas sendiri untuk belanja adalah salah satu solusi. Memang, perubahan sikap dan perilaku itu memakan waktu yang lama tergantung individu masing-masing. Hal ini terkait dengan nilai yang dianut masing-masing individu. Namun, menurut saya, setidaknya dalam kegiatan kampanye seperti ini ada hal-hal yang harus dijaga untuk menjaga opini publik. Apalagi dalam hal ini pemerintah yang akan disorot lebih banyak. 

Saya pernah membaca buku "Personal Brand-inc" karya Erwin Parengkuan dan Becky Tumewu. Ada dua kategori personal branding, yaitu natural personal branding dan created personal branding. Meski buku ini ditujukan untuk pengembangan individu, tetapi menurut saya konsepnya akan sama jika diterapkan pada organisasi. Dalam hal ini, menurut saya, Pemerintah Kota Bandung melakukan created personal (atau governmental/organisational) branding, yaitu dengan ingin menyampaikan kepada publik bahwa Kota Bandung sedang berupaya mengurangi penggunaan kantong plastik dan menjadi kota yang selangkah lebih maju dengan mengeluarkan Perda. Upaya yang dilakukan adalah membuat kampanye sejak 2010 hingga sekarang. Namun, perencanaan yang tidak matang akan membingungkan publik. Publik (juga media massa) akan bertanya-tanya mengenai kampanye pengurangan kantong plastik tetapi masih terdapat sampah plastik yang cukup banyak dan tidak dikelolanya sampah dengan baik. Padahal Pemerintah Kota Bandung memiliki Gerakan Pungut Sampah dan program lainnya terkait pengelolaan sampah. Sehingga muncul pemikiran bahwa sampah yang mereka buang (dengan sembarangan) akan dipungut orang lain dan lingkungan tetap bersih. 

Komitmen Kota Bandung untuk mengurangi penggunaan kantong plastik seperti yang diamanatkan
Perda No.17 tahun 2012perlu dikawal oleh berbagai pihak (Foto oleh Eko Triraharjo untuk GIDKP)

Program seperti ini memang harus dikoordinasikan dan direncanakan dengan sangat baik oleh berbagai pihak yang bersinggungan langsung dan yang terpenting adalah harus sinergis. Program yang banyak banget pasti ada benang merahnya. Bukan berarti di kampanye yang lain boleh memakai kantong plastik. Peran semua orang yang ada di pihak-pihak yang bersinggungan ini yang harus memastikan semua berjalan sinergis dan sesuai tujuan yang ingin dicapai. Semoga kampanye ini menjadi pembelajaran dan tidak terjadi lagi pada kampanye selanjutnya. Selain itu, semoga kegiatan seremonial bisa dikurangi dan diganti dengan kegiatan yang lebih berkelanjutan dan bisa diukur dan terlihat juga dirasakan langsung dampaknya. 

Tindak lanjut dari kampanye ini adalah akan dibentuk tim gabungan sesuai amanat Perda untuk memastikan bahwa Perda dan upaya di lapangan berjalan dengan sinergis. Juga memastikan bahwa TSM menjadi percontohan "Kawasan Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik" yang baik. Semoga dengan adanya tim gabungan ini, komitmen Bandung untuk mengurangi penggunaan kantong plastik bisa berjalan dengan baik. Mau Bandung Juara? Yuk, #DietKantongPlastik! 

Terima kasih telah mengapresiasi inisiatif yang sudah dilakukan kelompok masyarakat dalam mengurangi penggunaan kantong plastik. Dalam foto ada juga (kiri-kanan) perwakilan dari Kiehl's Indonesia dan The Body Shop Indonesia yang sudah tidak menggunakan kantong plastik dan menggunakan tas kertas. Kedua brand juga memiliki kampanye pengurangan kantong plastik dan melakukan konsep Extended Producer Responsibility dengan menerima kembali kemasan kosong dari konsumen. (Foto oleh Eko Triraharjo untuk GIDKP)

Friday, 7 August 2015

Menuju Zero Waste Bersama Guru-Guru Asia Tenggara

Hari ini (7 Agustus) bertempat di Bandung, saya berpartisipasi pada pelatihan yang diselenggarakan oleh SEAMEO - QITEP in Science yang bertajuk "Environmental Education on Sustainable Development". Saya mewakili YPBB Bandung (bersama dengan Rikrik) untuk memberikan Pelatihan Zero Waste Lifestyle. Bertempat di Marbella Suites Bandung, pelatihan untuk guru-guru se-Asia Tenggara ini berlangsung selama seminggu. YPBB Bandung mengisi sesi Zero Waste Lifestyle dan Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan dalam satu hari. 

Pelatihan Zero Waste Lifestyle yang biasanya dibawakan dalam Bahasa Indonesia, sejak bekerjasama dengan SEAMEO - QITEP in Science pada 2013 lalu, pelatihan ini dibawakan dalam Bahasa Inggris. Beruntung, saat itu saya membantu menerjemahkan dokumen dan menjadi trainer (bersama dengan Perswina) untuk pertama kalinya. Itu adalah pengalaman pertama saya membawakan sesi pelatihan dalam Bahasa Inggris. Beruntung lagi, di tahun ini untuk kedua kalinya, saya membawakan kembali pelatihan tersebut dalam Bahasa Inggris, yang mana sebelumnya sudah kami (saya dan Rikrik) perbaiki terkait tampilan presentasi dan tata bahasa. 

Sebagai orang yang usianya termuda di dalam ruangan pelatihan (dan juga Haidar yang menjadi panitia), saya merasa ini merupakan tantangan bagi saya yang sudah empat tahun menjadi relawan trainer di YPBB Bandung. Bukan bermaksud untuk menggurui, tetapi saya lebih menyampaikan apa yang kami kampanyekan di Bandung sejak tahun 1993. Kampanye nol sampah (zero waste) sendiri baru muncul pada tahun 2005, pasca terjadinya longsor di TPA (tempat pembuangan akhir) di Leuwigajah, Cimahi. 

Aktivitas interaktif yang pertama kali dilakukan pada sesi ini adalah menelusuri perjalanan sampah dari rumah. Dari empat orang peserta yang bercerita, mereka memiliki cerita yang berbeda. Peserta pertama dari Surabaya menceritakan bahwa sampah yang dikelola di rumahnya masih dibakar dan dikubur di halaman rumah. Sedangkan peserta kedua dari Semarang bercerita bahwa sampah di daerah tempat tinggalnya dikelola oleh petugas kebersihan yang nantinya akan dipindahkan ke TPA. Lain lagi halnya dengan peserta dari Kuala Lumpur, Malaysia yang telah memulai memisahkan sampah sesuai jenisnya dan memanfaatkannya. Namun, cerita lain dari peserta Indonesia menyebutkan bahwa kebanyakan sampah yang ada berada di daerahnya dibuang ke laut. 

Peserta diajak untuk menelusuri perjalanan sampahnya masing-masing

Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh peserta pertama, kedua, dan keempat, merupakan pengelolaan yang umum dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Yang mana hal tersebut hanya bersifat menimbun sampah. Penimbunan sampah ini (tanpa adanya pengelolaan yang berkelanjutan) nantinya akan berakibat buruk. Jika kita mengingat lagi apa yang terjadi pada TPA di Leuwigajah 10 tahun yang lalu, bukan tidak mungkin bahwa kejadian tersebut bisa menimpa daerah lain. 

Sampah yang ditimbun (baik dibuang ke sungai, dibuang ke TPA, dibakar, ataupun dikubur) akan menimbulkan dampak negatif kepada lingkungan. Beberapa racun, seperti logam berat, dioksin, dan stiren, akan keluar dan mengancam kesehatan manusia. Ancaman tersebut akan disebarkan lewat udara, air, dan makanan. Pembuangan sampah yang tidak bertanggung jawab seperti itu akan mengancam pihak lain. Mengapa? Karena hal tersebut hanya memindahkan sampah dari tempat tinggal kita ke tempat lain, yang mana orang lain yang akan terkena ancaman tersebut. 

YPBB melalui kampanye nol sampah (zero waste) mengajak masyarakat di Bandung untuk mengurangi aksi dan dampak dari pembuangan sampah yang tidak bijak di atas dan mulai untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri. Bagaimana caranya? YPBB mengenalkan dua langkah sederhana untuk mengelola sampah hingga 80-90%. Komposisi sampah di Kota Bandung sendiri didominasi oleh sampah organik (63%), sampah anorganik yang bisa didaur ulang (23%), dan sampah anorganik yang berupa residu (14%). Dengan melakukan dua langkah sederhana berikut, setidaknya Kota Bandung bisa mengelola 86% sampahnya. Apa saja langkah-langkah tersebut?

Langkah 1: Pisahkan sampah dari awal.
Kita mengenal dua jenis bahan yang ada di sekitar kita, organis dan anorganis. Dengan mengenal bahan-bahan ini, kita akan mudah untuk mulai membiasakan pemisahan sampah sejak awal dibuang. 

Langkah 2: Manfaatkan sampah-sampah tersebut.
Sampah organis bisa kita komposkan (bisa dengan keranjang Takakura atau memanfaatkan Lubang Resapan Biopori) dan bahan-bahan anorganik bisa kita salurkan kepada organisasi yang bisa mengelolanya. Bank-bank sampah bisa menjadi mitra untuk pengolahan sampah anorganik setelah dari tempat tinggal kita. 

Untuk memudahkan kita, ada berbagai macam metode dalam membantu kita dalam pemisahan tersebut. Ada model pemisahan sampah dua jenis (organik/anorganik), ada juga yang lima jenis (organik mudah terurai/organik sulit terurai/kertas/anorganik bisa didaur ulang/dan residu). YPBB sendiri sejak 2013 memulai dengan memisahkan sampah ke dalam lima jenis wadah yang berbeda. Lain dengan di Jepang yang sudah terbiasa memisahkan sampah ke dalam tujuh jenis yang diangkut berbeda setiap harinya oleh petugas kebersihan. 

Peserta mempraktekkan penggunaan keranjang Takakura

Pesan penting yang disampaikan dari pelatihan ini adalah pengelolaan sampah merupakan tanggung jawab individu, sehingga kita harus bertanggung jawab atas sampah yang kita hasilkan. Melalui dua langkah sederhana di atas, setidaknya kita bisa mengurangi timbulan sampah yang akan berakhir di TPA. 

Bagaimana dengan sampah residu? Zaman sekarang banyak sekali produk yang diciptakan dengan tingkat keawetan yang rendah atau hanya didesain untuk sekali pakai. Misalnya saja kantong plastik atau botol minuman. Padahal, mereka bisa diganti dengan bahan lain yang bisa dipakai ulang terus menerus. Masalah lainnya juga baterai-baterai sekali pakai (yang hingga saat ini belum ada yang mendaur ulangnya) dan popok bayi serta pembalut wanita yang sering ditemukan di sungai (padahal ini termasuk kategori limbah berbahaya dan beracun!). Sebagai konsumen, kita sebaiknya mulai menjadi konsumen yang pintar dalam memilih produk mana yang baik untuk kita dan lingkungan. 

Jika kita mengacu pada hierarki pengelolaan sampah, kita akan diingatkan bahwa pembuangan sampah merupakan tingkatan yang paling rendah. Padahal, kita bisa melakukan banyak upaya dari tahapan yang paling tinggi, yaitu pencegahan. Dalam pengelolaan sampah, bukan hanya teknologi saja yang dipikirkan. Pola pikir yang ada pada masyarakat justru hal yang paling penting untuk diupayakan sehingga permasalahan sampah ini bisa dilakukan secara bersama-sama. 

Peserta "Environmental Education on Sustainable Development"
dari SEAMEO - QITEP in Science.

Melalui kampanye nol sampah (zero waste) ini, YPBB menyampaikan pesan bahwa pengelolaan sampah bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah. Masyarakat sebagai penghasil sampah juga harus terlibat dalam menyelesaikan masalah ini. Juga pihak swasta yang seharusnya juga bertanggung jawab terhadap sampah kemasan dari produknya. Hal ini sudah diatur dalam Undang Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dimana salah satunya peran swasta dalam extended producer responsibility (EPR). 

Monday, 22 June 2015

Kembali ke alam, kembali ke gelas

Jum'at lalu, di talkshow "Gerakan Generasi Lingkungan" pada perhelatan Pekan Lingkungan Hidup 2015 yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan, salah satu pembicara mengungkapkan bahwa plastik tidak bisa didaur ulang lagi setelah dua hingga tiga kali didaur ulang. Selain karena penguraiannya yang sangat lama di alam, hal itu yang menjadi dasar beliau menciptakan kantong plastik "ramah lingkungan" yang berjenis oxo-degradable dan bio-degradable. Namun, menurut gue itu bukan solusi satu-satunya untuk mengurangi sampah plastik.

Beberapa minggu lalu, gue diundang dalam peluncuran "Glass is Life", sebuah gerakan yang mengangkat kembali penggunaan bahan berbahan kaca untuk aktivitas sehari-hari. Glass is Life meyakini bahwa kemasan kaca adalah material yang murni, sehat dan alami, merupakan jenis kemasan yang lebih baik bagi makanan dan minuman yang dikemasnya, lebih baik bagi kita dan lebih baik bagi lingkungan hidup kita (Sumber: http://glassislife.co.id/tentang-o-i/#sthash.47oW5G6z.dpuf). Saya pun setuju dengan ini. Kaca jauh lebih baik daripada plastik. 

Blogger Gathering "Glass is Life" Indonesia di Cowork.inc, Kemang.

Kalau kita memetakan daur hidup kaca dimulai dari hulu, kaca terbuat dari pasir, batu kapur, dan soda ash/sodium karbonat. Bahan-bahan ini lah yang membuat kaca bisa didaur ulang terus menerus dengan kualitas yang sama dan hanya menambahkan sedikit bahan baku baru pada proses daur ulangnya. Bandingkan dengan plastik yang kualitasnya menurun setiap kali didaur ulang, juga plastik "ramah lingkungan" yang tetap menggunakan bahan baku plastik baru setiap kali pembuatannya dan hanya menambahkan persentase yang sedikit untuk bahan yang mereka sebut "oxo" atau "bio". Dari bagian hulu saja kita bisa memilih mana yang lebih "ramah lingkungan".

Di tahun 2011, sampah kaca di DKI Jakarta mencapai volume 1,91%  dari total sampah (Sumber: http://data.go.id/dataset/persentase-komposisi-sampah-dki-jakarta/resource/4b656146-0997-4994-839a-edf962dd18f6). Bandingkan dengan plastik yang mencapai 13,25%. Masyarakat jaman sekarang, karena "dipaksa" hingga masuk alam bawah sadar, oleh perusahaan kapitalis untuk menganggap bahwa air minum dalam kemasan plastik sekali pakai itu adalah suatu kebutuhan, banyak yang terpedaya sehingga tak sedikit dari masyarakat yang selalu membeli air minum dalam kemasan plastik sekali pakai setiap hari (Referensi: http://storyofstuff.org/movies/story-of-bottled-water/). Pilihan untuk minum air 'kan bukan hanya di botol kemasan sekali pakai? Bisa beli di galon yang lebih banyak menyimpan air dan bisa diisi ulang berkali-kali, lalu kita bawa minuman dengan tempat minum sendiri. Beberapa rekan gue, dalam rangka menolak komersialisasi air (karena seharusnya air itu didapatkan secara gratis) menggunakan filter air untuk minum sehari-hari. Itu di Bandung, karena di Jakarta tidak bisa menggunakan filter air. Sumber air masyarakat Jakarta sangat kotor. Sungai sudah tercemar. 

Di Amerika Serikat, persentasi daur ulang sampah plastik adalah 1% dari total sampah plastik. Di Indonesia, asumsi gue, mungkin di bawah 1%. Solusinya bukan membuat plastik-plastik yang cepat terurai dengan embel-embel ramah lingkungan dan mendapatkan sertifikat yang hanya diberikan kepada satu perusahaan itu saja (eh!), tapi memilih bahan pengganti lain yang memang benar-benar ramah lingkungan. Kalau memang cinta lingkungan, pasti akan berpikir yang terbaik bagi alam. Bukan demi rupiah. 

Contoh yang bisa diceritakan adalah produk "Suwe Ora Jamu". Produk ini dikemas dalam botol kaca. Lebih menariknya lagi, produk ini sudah menerapkan extended producer responsibility (EPR), yaitu adanya sistem untuk mengembalikan botol kepada produsen dan mendapatkan cash back sebesar Rp2.500,-. Wow, bahkan perusahaan global pun belum banyak yang mau menerapkan seperti ini (kecuali The Body Shop dan Kiehl's, yang saya tahu). Botol yang dikembalikan akan didaur ulang oleh produsen dan digunakan sebagai kemasan baru. 

Rasa yang enak dan kemasan yang ramah lingkungan.

Beda dengan perusahaan kantong plastik "ramah lingkungan" yang mengklaim bahwa tindakan EPR yang mereka lakukan adalah dengan membuat produk "ramah lingkungan" yang akan hancur dalam waktu dua tahun (itupun tergantung media pembuangannya). Mungkin mereka lupa, kantong plastik "ramah lingkungan" itu sangat tipis dan masyarakat cenderung meminta lebih untuk membawa barang belanjaan dengan alasan supaya tidak sobek. Itu artinya penggunaan dua kali lebih banyak, bahan baku plastik dua kali lebih banyak digunakan, dan sampah dua kali lebih banyak. Bayangkan jika dalam jika kita masing-masing menggunakan kantong plastik "ramah lingkungan" dalam sehari sebanyak dua lembar, sama dengan 60 lembar dalam sebulan, dan 720 lembar dalam setahun. Dalam dua tahun ada 1.440 lembar kantong plastik. Kantong plastik "ramah lingkungan" itu akan hancur "dengan sendirinya" dalam kurun waktu dua tahun. Satu lembar kantong plastik akan hancur dalam dua tahun. Bisa hitung kapan kantong plastik "ramah lingkungan" yang kita gunakan selamadua tahun itu akan hancur? Kalikan dengan jumlah warga Indonesia yang menggunakan kantong plastik yang sama. Ditambah lagi, pengelolaan sampah masih belum baik. Buang sampah masih dicampur, lalu sampah masih ditimbun di tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Itu baru kantong plastik. Botol plastik? Meski banyak yang mau menerima, suatu saat mereka tetap harus dibuang karena sudah tidak layak lagi didaur ulang. 

Ffrash, salah satu komunitas di Bekasi, yang memanfaatkan botol-botol kaca untuk di-upcycle. Memberdayakan anak-anak muda untuk menghasilkan sebuah karya seni yang indah dari botol-botol kaca bekas. Ini lebih bagus ketimbang membuat karya dari kemasan plastik dengan berbagai macam merek. Botol-botol kaca yang sudah tidak terpakai nantinya bisa didaur ulang lagi. Kemasan plastik, meski dibuat kerajinan ini itu, tidak bisa didaur ulang (karena bersifat multi layer) dan akan menjadi sampah. Berat? Engga ah sama aja. Takut pecah? Engga ah, emangnya lo banting-banting tas lo? Kaca sama plastik sama-sama bahan anorganis. Plastik, meski terbuat dari minyak bumi, tetapi telah diubah secara buatan oleh manusia hingga rantai karbonnya panjang. Masih engga paham yang menyebut plastik itu organik. Tuhan tidak menciptakan plastik, Bu. Human does

Karya Ffrash yang kece bingit. 

Pilihan ada di tangan Anda. Jadilah konsumen yang BIJAK. Jangan terpedaya dengan iklan "ramah lingkungan". Cari tahu sendiri dan pilih sendiri. Ciao!

Friday, 3 October 2014

Sarongge Experience

Absen nulis dua minggu!

Pengakuan dosa dulu untuk teman-teman #1minggu1cerita (aku akan memuat artikel khusus tentang #1minggu1cerita ini kemudian). Mohon maaf ya! Gantian lho, aku terus yang paling update dan sekarang aku mencoba menjadi pemalas nulis seperti kalian hahaha.

Kali ini aku mau bercerita tentang pengalamanku ke Sarongge minggu lalu. Ada yang tahu Sarongge? Sarongge ini adalah salah satu wilayah di Cianjur, tepatnya di bagian kaki Gunung Gede Pangrango. Yang akan aku bicarakan disini adalah bagian Sarongge Girang, yang menjadi kawasan desa wisata. 

Aku sudah sering mendengar tentang Sarongge sebelumnya, tetapi baru berkesempatan untuk mengunjunginya kemarin hari Jum'at-Minggu (26-28 September 2014) lalu. Udah lama banget ga ke desa jadinya seneng banget! Pusing lama-lama menghadapi hingar bingar kota. Peranku disana (bersama Shelly dan calon suaminya, semoga jadi. Amin) adalah untuk membantu penerapan zero waste event di gelaran Festival Sarongge tahun kedua. Tahap awal sih jadinya, karena kami memantau dulu situasi dan kondisi disana seperti apa. 

Say hello dulu di Sarongge ... brrrrr....
Kegiatan yang kami lakukan disana adalah mengajak pemuda setempat untuk mulai peduli terhadap pengelolaan sampah. Sudah empat bulan terakhir Sarongge mengembangkan program bank sampah, masih belum sempurna pastinya. Jadi, momen zero waste event di Festival Sarongge ini menjadi ajang para pemuda dan warga setempat untuk mulai peduli terhadap pengelolaan sampah. 

Bergaya dulu di Saung Sarongge
Selama dua hari pelaksanaan festival, memang belum bisa dilihat perubahannya. Kami menjadi semacam riset awal terkait pola persampahan disana. Bisa aku simpulkan bahwa:
1. Secara umum, warga Sarongge masih membuang sampah sembarangan. Mereka terbiasa langsung membuang dimana saja dia berdiri tanpa mempedulikan lingkungan sekitar (hmmm...sama saja dengan kota besar deh)
2. Gak usah ditanya lah ya kalo pengisi festival pasti penjualnya pun menghasilkan sampah
3. Bank sampah masih belum maksimal. Sampah yang bisa dimanfaatkan masih terbatas plastik kemasan untuk di-upcylce. Sisanya ada yang dijual (seperti botol dan gelas plastik) dan dibuang. 
4. Yang bikin aku berdecak kagum adalah pemuda yang tergabung dengan karang taruna itu bertanggung jawab terhadap sampah-sampah yang berserakan di area festival dan membuat semuanya menjadi bersih. Well, ini bukan pola pikir persampahan yang baik, tetapi yang dicatat disini adalah pemuda disana bisa diarahkan untuk menjadi lebih baik lagi karena mereka punya tanggung jawab.
5. Timbulan sampah dua hari bisa mencapai 200 kg lho! dan itu tercampur!

Sebagian sampah yang sempat aku foto (foto diambil di akhir penyelenggaraan/hari kedua Festival Sarongge)
Sarongge ini bisa banget dijadikan wilayah dampingan dan "menjual" untuk organisasi sosial untuk mendapatkan dana dari pihak swasta untuk berbuat lebih ke desa yang asri ini. Hehehehehe. Pengen lagi kesana untuk berbagi terkait diet kantong plastik. Oh iya, sampah-sampah yang terkumpul dari Festival Sarongge akan dikelola selanjutnya oleh Karang Taruna setempat. Jadi mereka akan milah-milah lagi mana yang bermanfaat dan mana yang engga. Semangat ya akang teteh!

Cerita lagi tentang Sarongge. Disana dingin banget! Airnya dingin, seger abis! Udaranya sejuk, hamparan hijau mengelilingi, warga yang ramah, dan makanan ibu-ibu Sarongge yang bikin aku gemuk dalam dua hari! Hehehe. I'll come back soon!

Big thanks to Emma Piper from Green Initiative Foundation who invite us to Sarongge!

Tuesday, 10 December 2013

[UNDANGAN] Media Gathering & Peluncuran Video #TanggapBanjir

Dear rekan media, blogger, dan komunitas,

Setelah memperingati Hari Sungai Ciliwung pada tanggal 11 November lalu, Komunitas Ciliwung Condet, Greeneration Indonesia, dan PT AIG Indonesia kembali melakukan kegiatan di Sungai Ciliwung Condet sebagai tindak lanjut dari kegiatan yang dilakukan pada bulan November lalu. Hal ini juga merupakan kegiatan dalam rangka Hari Relawan Sedunia yang jatuh pada tanggal 5 Desember, dimana PT AIG Indonesia merupakan salah satu perusahaan yang menerapkan sistem employee volunteer.  Ciliwung dipilih menjadi lokasi aktivitas sukarelawana PT AIG Indonesia bersama Greeneration Indonesia karena sungai sepanjang 120 km yang melintasi provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta serta memiliki peran penting bagi kehidupan yang berada di sekitarnya. Peran penting Ciliwung, kini mulai terancam dengan banyaknya pencemaran lingkungan baik yang disebabkan oleh kegiatan industri maupun rumah tangga.

Untuk itu, kami – Komunitas Ciliwung Condet, Greeneration Indonesia dan PT AIG Insurance Indonesia – mengundang rekan media dan blogger pada media gathering untuk memberikan dukungan atas keberlangsungan Sungai Ciliwung kita dan hadir dalam aktivitas di Sungai Ciliwung yang akan dilaksanakan pada:

Hari, tanggal: Rabu, 11 Desember 2013
Waktu: Pukul 10.00 – 13.00 WIB
Lokasi: Komunitas Ciliwung Condet
Jl. Munggang 6, RT 10/4
Kelurahan Condet Balekambang
Kramat Jati - Jakarta Timur


Agenda acara sebagai berikut:
1.    Peluncuran video tanggap banjir
2.    Menonton film animasi edukasi tentang persampahan
3.    Bebersih daun-daunan kering dan membuat kompos
4.    Membuat tas pakai ulang
5.    Pengenalan siklus banjir dan simulasi tanggap banjir

Peta di google maps disini

Arah/patokan:
1. Dari Gatot Subroto, masuk ke Jl. Dewi Sartika.
2. Belok kanan di Pusat Grosir Cililitan ke Jl. Condet.
3. Masuk ke Jl. Condet, belok kanan ke Jl. Munggang (seberang Holland Bakery)
4. Masuk ke Jl. Munggang sampai ada tempat workshop bambu di sebelah kanan, cari parkir di sekitar situ. Komunitas Ciliwung Condet ada di belakangnya.


Demikian undangan ini kami sampaikan, besar harapan kami atas kehadiran rekan-rekan media, blogger, dan komunitas pada media gathering ini. Informasi lebih lanjut hubungi Rahyang Nusantara di rahyang@greeneration.org (08122096791)

Friday, 8 November 2013

SAVE CEKUNGAN BANDUNG, NO INCINERATOR


Pada awalnya incinerator merupakan solusi di Negara maju yang tidak memiliki lahan yang cukup untuk mengelola sampah, dalam perkembangannya insinerator malah menyebabkan masalah yang lebih krusial. Di Inggris incinerator berdampak pada penurunan kualitas kesehatan warga, terutama penyakit kulit, hati dan pernapasan, di Cina telah mengakibatkan beberapa penduduknya mengalami kanker otak, selain itu juga telah berdampak pada penurunan populasi bald eagle di gulf coast, florida serta flora dan fauna lainnya dibeberapa Negara maju dan Negara berkembang lainnya. Dampak polutip yang sangat berbahaya akibat adanya incinerator adalah dampak dari dioxin dan furan yang ikut migrasi dalam rantai makanan. Seperti yang dialami kandidat presiden ukraina Yushchenko pada tahun 2004 beliau keracunan dioxin dengan gejala sakit punggung dan kelumpuhan muka di bagian kiri yang tidak bisa disembuhkan (Prof. dr. Juli Soemirat S, MPH, Ph.D. – FTSL-ITB).

Akibat dampak buruk yang diakibatkan oleh incinerator maka masyarakat internasional menyepakati untuk memperingati hari anti incinerator setiap tanggal 8 November. Semua pihak pasti bersepakat pengelolan sampah harus berpijak pada pemenuhan keadilan ekologi, perlindungan ruang hidup dan keselamatan ekosistem. Pengelolaan sampah di kota Bandung, Cekungan Bandung dan Jawa Barat dalam jangka panjang harus memastikan terwujudnya keadilan ekologi dan tidak merugikan pihak manapun, baik kita sendiri, orang lain dan anak cucu kita.

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang akan dibangun di Kota Bandung tak lebih dari sebuah bentuk pengelolaan sampah tersentralisasi dengan menggunakan Mesin Pembakar Sampah (INSINERATOR) yang dipadukan dengan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Paradigma pengelolaan yang tetap tersentralisasi rentan membawa kota Bandung kembali ke bencana sampah tahun 2005 (kita tidak bisa melupakan tragedi kematian sekitar 157 orang dan hancurnya pemukiman warga akibat longsor TPA sampah Leuwi Gajah tanggal 21 Februari 2005 di Cireundeu). Tidak menutup kemungkinan Incinerator malah bisa berdampak lebih dari sekedar bencana, selain itu juga Incinerator tidak menjamin aspek pemenuhan keadilan ekologi.

PLTSa bukanlah teknologi tinggi yang ramah lingkungan. Kita pun ingat almarhum Prof Dr Otto Sumarwoto menentang penggunaan dan pembangunan PLTSa di Indonesia karena beresiko timbulnya korban dan terjadinya krisis ekologi. Kita patut menolak pembangunan PLTSa karena :
a. Pengelolaan yang tersentralisasi tetap menyimpan risiko yang sama dengan yang dulu. Kalau leuwigajah bisa meledak apalagi insinerator? kalau seluruh pengelolaan sampah kota Bandung bergantung pada PLTSa akan tercipta sistem yang rentan krisis

b. Pengelolaan sampah yang menyangkut hajat hidup orang banyak sungguh berbahaya kalau dikuasai oleh sebuah perusahaan yang bekerja untuk kepentingan bisnis.

c. Undang-Undang No 18 tahun 2008 sudah memandatkan pengelolaan sampah yang menuju pengurangan sampah dari sumber sampah, yaitu kita semua, sehingga pendekatan end of pipe seperti insinerator (termasuk TPA dengan sistem apapun) harus segera ditinggalkan pemerintah daerah di mana pun.

Demi keadilan ekologi, solusi pengelolaan sampah kota Bandung ke depan bisa dilakukan dengan :
a. Mendukung penerapan Undang-Undang No 18 tahun 2008 dengan mengembangkan sistem zero waste berdasarkan metoda 3R.
b. Mengembalikan pengelolaan sampah kepada pemerintah dengan mendepankan partisipasi warga, tidak diserahkan kepada perusahaan.
c. Melakukan edukasi dan pemberdayaan kepada warga dan komunitas menuju pengelolaan sampah yang terdesentralisasi.

Untuk mengisi Petisi Online “Tolak PLTSa berbasis INSINERATOR” silahkan mengunjungi Change Indonesia

SALAM ADIL DAN LESTARI
Bandung, 8 November 2013
WALHI JAWA BARAT 
 
Sumber: Siaran Pers Walhi Jawa Barat

Friday, 25 October 2013

Pengelolaan Lingkungan di Pulau Kecil Destinasi Wisata

Dengan hormat rekan, sahabat, mitra GI,

 

Kami, Tunas Nusa Foundation dan Greeneration Indonesia menginformasikan bahwa kami akan menyelenggarakan diskusi open space dengan Tema “Pengelolaan Lingkungan di Pulau Kecil Destinasi Wisata”. Diskusi ini diadakan dengan tujuan utama berbagi tentang temuan kami selama melakukan proses pendampingan 9 bulan di Pulau Tidung dalam Program Manajemen Sampah untuk Kawasan Rumah Tangga. Tujuan lain yang tak kalah penting adalah mendapatkan tanggapan dan masukan yang membangun dari para undangan diskusi ini untuk evaluasi dan penyempurnaan program dengan harapan ada kesinambungan dalam aspek Lingkungan-Sosial-Ekonomi sebagai salah satu prasyarat dari pembangunan berkelanjutan.

 

Diskusi ini akan menggunakan metode Open Space dan direncanakan akan mengambil waktu pada:

Hari, Tanggal : Kamis, 31 Oktober 2013 

Waktu : Pukul 12.30 – 16.45 WIB

Lokasi : Ruang Rapat Besar, Plaza Mandiri Lt. 10, Jl. Jenderal Gatot Subroto Kav 36-38 Jakarta 12190

 

Untuk dapat mencapai dua tujuan tadi, kami mengundang Bpk/Ibu/rekan2 yang memiliki minat besar dalam pengembangan pengelolaan lingkungan di daerah-daerah yang belum tersentuh sistem pengelolaan sampah terpusat/terpadu untuk turut bergabung dalam diskusi ini.

 

Apabila Anda berminat untuk hadir, silakan mengisi form pada tautan ini:

https://docs.google.com/forms/d/1jcFngt0hPlddYFD5915u8axmfUIgfuhxyHYqraUaMqA/viewform

 

Sehubungan dengan keterbatasan tempat, kami akan mengkonfirmasi kesediaan tempat untuk Anda setelah Anda mengisi form tersebut.

 

Demikian informasi & undangan ini kami sampaikan. Besar harapan kami Bpk/Ibu /rekan2 tertarik dan dapat menghadiri serta berkontribusi (termasuk merekomendasikan nama2 kontak profesional/mahasiswa sesuai bidang di atas) dalam acara ini. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

 

salam,

Greeneration Indonesia

 

Tentang MASUK RT > http://greeneration.tumblr.com/post/64397230500/masuk-rt-tidung-merupakan-singkatan-dari