Hari ini (7 Agustus) bertempat di Bandung, saya berpartisipasi pada pelatihan yang diselenggarakan oleh SEAMEO - QITEP in Science yang bertajuk "Environmental Education on Sustainable Development". Saya mewakili YPBB Bandung (bersama dengan Rikrik) untuk memberikan Pelatihan Zero Waste Lifestyle. Bertempat di Marbella Suites Bandung, pelatihan untuk guru-guru se-Asia Tenggara ini berlangsung selama seminggu. YPBB Bandung mengisi sesi Zero Waste Lifestyle dan Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan dalam satu hari.
Pelatihan Zero Waste Lifestyle yang biasanya dibawakan dalam Bahasa Indonesia, sejak bekerjasama dengan SEAMEO - QITEP in Science pada 2013 lalu, pelatihan ini dibawakan dalam Bahasa Inggris. Beruntung, saat itu saya membantu menerjemahkan dokumen dan menjadi trainer (bersama dengan Perswina) untuk pertama kalinya. Itu adalah pengalaman pertama saya membawakan sesi pelatihan dalam Bahasa Inggris. Beruntung lagi, di tahun ini untuk kedua kalinya, saya membawakan kembali pelatihan tersebut dalam Bahasa Inggris, yang mana sebelumnya sudah kami (saya dan Rikrik) perbaiki terkait tampilan presentasi dan tata bahasa.
Sebagai orang yang usianya termuda di dalam ruangan pelatihan (dan juga Haidar yang menjadi panitia), saya merasa ini merupakan tantangan bagi saya yang sudah empat tahun menjadi relawan trainer di YPBB Bandung. Bukan bermaksud untuk menggurui, tetapi saya lebih menyampaikan apa yang kami kampanyekan di Bandung sejak tahun 1993. Kampanye nol sampah (zero waste) sendiri baru muncul pada tahun 2005, pasca terjadinya longsor di TPA (tempat pembuangan akhir) di Leuwigajah, Cimahi.
Aktivitas interaktif yang pertama kali dilakukan pada sesi ini adalah menelusuri perjalanan sampah dari rumah. Dari empat orang peserta yang bercerita, mereka memiliki cerita yang berbeda. Peserta pertama dari Surabaya menceritakan bahwa sampah yang dikelola di rumahnya masih dibakar dan dikubur di halaman rumah. Sedangkan peserta kedua dari Semarang bercerita bahwa sampah di daerah tempat tinggalnya dikelola oleh petugas kebersihan yang nantinya akan dipindahkan ke TPA. Lain lagi halnya dengan peserta dari Kuala Lumpur, Malaysia yang telah memulai memisahkan sampah sesuai jenisnya dan memanfaatkannya. Namun, cerita lain dari peserta Indonesia menyebutkan bahwa kebanyakan sampah yang ada berada di daerahnya dibuang ke laut.
Peserta diajak untuk menelusuri perjalanan sampahnya masing-masing |
Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh peserta pertama, kedua, dan keempat, merupakan pengelolaan yang umum dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Yang mana hal tersebut hanya bersifat menimbun sampah. Penimbunan sampah ini (tanpa adanya pengelolaan yang berkelanjutan) nantinya akan berakibat buruk. Jika kita mengingat lagi apa yang terjadi pada TPA di Leuwigajah 10 tahun yang lalu, bukan tidak mungkin bahwa kejadian tersebut bisa menimpa daerah lain.
Sampah yang ditimbun (baik dibuang ke sungai, dibuang ke TPA, dibakar, ataupun dikubur) akan menimbulkan dampak negatif kepada lingkungan. Beberapa racun, seperti logam berat, dioksin, dan stiren, akan keluar dan mengancam kesehatan manusia. Ancaman tersebut akan disebarkan lewat udara, air, dan makanan. Pembuangan sampah yang tidak bertanggung jawab seperti itu akan mengancam pihak lain. Mengapa? Karena hal tersebut hanya memindahkan sampah dari tempat tinggal kita ke tempat lain, yang mana orang lain yang akan terkena ancaman tersebut.
YPBB melalui kampanye nol sampah (zero waste) mengajak masyarakat di Bandung untuk mengurangi aksi dan dampak dari pembuangan sampah yang tidak bijak di atas dan mulai untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri. Bagaimana caranya? YPBB mengenalkan dua langkah sederhana untuk mengelola sampah hingga 80-90%. Komposisi sampah di Kota Bandung sendiri didominasi oleh sampah organik (63%), sampah anorganik yang bisa didaur ulang (23%), dan sampah anorganik yang berupa residu (14%). Dengan melakukan dua langkah sederhana berikut, setidaknya Kota Bandung bisa mengelola 86% sampahnya. Apa saja langkah-langkah tersebut?
Langkah 1: Pisahkan sampah dari awal.
Kita mengenal dua jenis bahan yang ada di sekitar kita, organis dan anorganis. Dengan mengenal bahan-bahan ini, kita akan mudah untuk mulai membiasakan pemisahan sampah sejak awal dibuang.
Langkah 2: Manfaatkan sampah-sampah tersebut.
Sampah organis bisa kita komposkan (bisa dengan keranjang Takakura atau memanfaatkan Lubang Resapan Biopori) dan bahan-bahan anorganik bisa kita salurkan kepada organisasi yang bisa mengelolanya. Bank-bank sampah bisa menjadi mitra untuk pengolahan sampah anorganik setelah dari tempat tinggal kita.
Untuk memudahkan kita, ada berbagai macam metode dalam membantu kita dalam pemisahan tersebut. Ada model pemisahan sampah dua jenis (organik/anorganik), ada juga yang lima jenis (organik mudah terurai/organik sulit terurai/kertas/anorganik bisa didaur ulang/dan residu). YPBB sendiri sejak 2013 memulai dengan memisahkan sampah ke dalam lima jenis wadah yang berbeda. Lain dengan di Jepang yang sudah terbiasa memisahkan sampah ke dalam tujuh jenis yang diangkut berbeda setiap harinya oleh petugas kebersihan.
Peserta mempraktekkan penggunaan keranjang Takakura |
Pesan penting yang disampaikan dari pelatihan ini adalah pengelolaan sampah merupakan tanggung jawab individu, sehingga kita harus bertanggung jawab atas sampah yang kita hasilkan. Melalui dua langkah sederhana di atas, setidaknya kita bisa mengurangi timbulan sampah yang akan berakhir di TPA.
Bagaimana dengan sampah residu? Zaman sekarang banyak sekali produk yang diciptakan dengan tingkat keawetan yang rendah atau hanya didesain untuk sekali pakai. Misalnya saja kantong plastik atau botol minuman. Padahal, mereka bisa diganti dengan bahan lain yang bisa dipakai ulang terus menerus. Masalah lainnya juga baterai-baterai sekali pakai (yang hingga saat ini belum ada yang mendaur ulangnya) dan popok bayi serta pembalut wanita yang sering ditemukan di sungai (padahal ini termasuk kategori limbah berbahaya dan beracun!). Sebagai konsumen, kita sebaiknya mulai menjadi konsumen yang pintar dalam memilih produk mana yang baik untuk kita dan lingkungan.
Jika kita mengacu pada hierarki pengelolaan sampah, kita akan diingatkan bahwa pembuangan sampah merupakan tingkatan yang paling rendah. Padahal, kita bisa melakukan banyak upaya dari tahapan yang paling tinggi, yaitu pencegahan. Dalam pengelolaan sampah, bukan hanya teknologi saja yang dipikirkan. Pola pikir yang ada pada masyarakat justru hal yang paling penting untuk diupayakan sehingga permasalahan sampah ini bisa dilakukan secara bersama-sama.
Peserta "Environmental Education on Sustainable Development" dari SEAMEO - QITEP in Science. |
Melalui kampanye nol sampah (zero waste) ini, YPBB menyampaikan pesan bahwa pengelolaan sampah bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah. Masyarakat sebagai penghasil sampah juga harus terlibat dalam menyelesaikan masalah ini. Juga pihak swasta yang seharusnya juga bertanggung jawab terhadap sampah kemasan dari produknya. Hal ini sudah diatur dalam Undang Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dimana salah satunya peran swasta dalam extended producer responsibility (EPR).
No comments:
Post a Comment