Tadi malam, aku kembali mengikuti perayaan kampanye pemadaman lampu. Sepertinya sudah satu atau dua tahun aku tidak mengikuti kampanye itu. Ternyata masih sama seperti terakhir kali aku mengikuti kampanye tersebut beberapa tahun silam. Tulisanku di Kompasiana pun sempat menuai perang dingin antara aku dan teman-teman pegiat lingkungan saat itu.
Aku kembali mengikuti kampanye tersebut karena terlibat dengan salah satu pendiri Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), yaitu The Body Shop Indonesia (TBS) (merek perawatan tubuh favoritku #1). Isu yang mereka angkat di tahun ini adalah petisi #pay4plastic yang memang menjadi fokus isu GIDKP juga di tahun ini. Sebelum perayaan, kami sudah melakukan kampanye seminggu lebih awal karena berkesempatan mengumpulkan tandatangan untuk dukungan petisi lebih banyak. Ternyata tidak mudah mengajak pengunjung pusat belanja untuk mendukung petisi ini, apalagi kebijakan manajemen pusat belanja yang membatasi gerak relawan untuk mengajak pengunjung.
Aku selalu menghindar bila ada LSM yang menyapa pejalan kaki di jembatan penyebrangan atau pengunjung pusat belanja. Bukannya sombong, tapi beberapa kali pengalaman, ujung-ujungnya diminta kesediaan untuk berdonasi. Bukannya tidak mau, asumsiku mengatakan sebaiknya tidak perlu seperti itu. Bilang saja kalau sedang melakukan program donasi. Oleh karena itu, sambil belajar dari pengalaman, aku dan relawan mencoba untuk tidak terlihat seperti meminta donasi. Hmmm, donasi dalam bentuk tandatangan yang kami butuhkan. Nyatanya, pengunjung mall masih belum banyak yang bersedia memberikan dukungan dalam bentuk tanda tangan saja.
Oke, aku terlalu banyak bercerita tentang hal di atas. Mari kembali ke judul.
Tak dipungkiri memang kita bukan makhluk yang sempurna. Ada saja minus sana-sini, tapi jangan lupakan pula nilai plus kita. Seperti tadi malam, aku kembali dihantui pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah terjawab dan hanya akan menjadi asumsi pribadi saja, juga sindiran-sindiran yang tersirat di kepala.
Seperti terakhir kali aku menjadi bagian dari kampanye ini, aku tidak habis pikir dalam beberapa hal. Mari aku ajak kalian membaca isi kepalaku tentang kampanye tadi malam.
Aku masih bertanya-tanya mengenai kampanye ini. Di satu sisi, ada ajakan untuk memadamkan lampu (dan juga alat elektronik lainnya) yang tidak diperlukan. Namun, di sisi lain, ada aktivitas yang menggunakan cukup banyak energi listrik tak terbarukan. Tadi malam, untuk pertama kalinya merayakan kampanye tersebut di Jakarta dan di dalam pusat belanja. Terima kasih kepada pihak pusat belanja yang telah memadamkan lampu-lampu sentral dan beberapa lampu lainnya. Namun sepertinya selebrasi di panggung dengan lampu sorot, sound system yang menggelegar, tidak diperlukan. Mungkin biar gebyar. Tidakkah kalian perhatikan bahwa selebritis-selebritis yang kalian bayar tidak terlihat tertarik dan antusias? Bahkan salah satu artis yang saya kenal tidak diberitahu dan diingatkan oleh panitia terkait lokasi acara.
Di belahan kota lain, aku lihat di linimasa daring, ternyata masih saja kecolongan. Aku tidak akan komentar banyak karena hanya ini yang aku ketahui. Sepertinya sempat ramai juga di kampanye lain beberapa bulan yang lalu, bahwa selebrasi dengan menerbangkan sesuatu itu akan berdampak negatif nantinya. Suatu saat, balon yang diterbangkan, spanduk yang diterbangkan, atau bahkan lampion-lampion yang diterbangkan akan kembali lagi ke daratan. Kita engga pernah tau dimana mereka akan jatuh. Di atap rumah? di pohon? tepat jatuh di TPA? atau mungkin di sungai, selokan, mengenai hewan, atau tempat-tempat lainnya yang perlu dijaga dari sampah.
Ada satu tulisan kampanye pada fashion show yang digelar oleh Greenpeace di Rancaekek beberapa waktu lalu mengenai industri tekstil yang mencemari sungai. "Beauty fashion shouldn't cost the earth". Kalau boleh aku mengutip dan sedikit mengubah kata, aku akan bilang, "Environmental celebration shouldn't cost the earth".
Kabar baiknya adalah, dengan kampanye pemadaman lampu ini, banyak masyarakat mulai peduli dengan isu-isu lingkungan. Bahkan, artis-artis sekarang ikutan juga kampanye lingkungan. Salut juga untuk pemerintah kota tempat saya dilahirkan yang berhasil diadvokasi oleh kampanye ini sehingga bisa menjadi kebijakan. Tinggal kita tunggu saja kapan menjadi perilaku sehari-hari dan kebiasaan yang otomatis dilakukan.
Terkadang aktivis lingkungan juga belum paham isu keberlanjutan. Maklumi saja lah kami-kami ini, kebanyakan kampanye masih fokus pada peningkatan kesadaran masyarakat. Ingatkan kami, ya!
*Terima kasih kepada semua pihak dan selebritis yang mengajak untuk mengurangi penggunaan kantong plastik lebih banyak daripada ajakan hemat listrik.
No comments:
Post a Comment