Friday 3 April 2015

About Stereotyping

Terkadang gue berpikir kalau kita semua ini didoktrin sedari kecil mengenai standar tertentu. Bahwa wanita cantik itu adalah berkulit putih, langsing, dan memiliki rambut hitam nan panjang. Bahwa ranking 1 di kelas adalah segala-galanya. Bahwa makan dengan nasi adalah suatu kewajiban. Bahwa anak IPS itu lebih nakal, makanya harus masuk IPA. Bahwa bersekolah di sekolah swasta itu tidak lebih baik di sekolah negeri. Bahwa bekerja di perusahaan multinasional adalah satu-satunya jawaban untuk keluar dari kemiskinan. 

Apakah itu salah? Tidak selalu? Kalau begitu, itu benar? Tidak juga. 

Akhir-akhir ini pikiran gue terganggu dengan kondisi seperti ini. Bahkan, gue sendiri pun mengalami masa-masa untuk berusaha keluar dari stereotype orang banyak. Lulus kuliah lalu bekerja di perusahaan nasional atau bahkan multinasional adalah suatu keharusan. Buat apa? Untuk uang yang banyak dan status sosial yang lebih tinggi, dan itu artinya kebahagiaan ada di depan mata. Namun, gue mencoba untuk mendobrak "budaya" itu. Mengapa? Karena hati tidak mengatakan demikian. 

Untuk menjadi bahagia tidak perlu menjadi apa yang dikatakan atau diinginkan orang. Mereka bahkan tidak tahu apa yang kita ingin capai dalam hidup. Hanya kita dan Tuhan yang tahu. Lagian, yang ngejalanin bukan lo kan?

Disaat teman-teman gue sibuk melamar pekerjaan dari bursa kerja ke bursa kerja, dengan santainya gue bergabung dengan organisasi sosial yang fokus pada isu lingkungan. Bukan pekerjaan impian para lulusan dari salah satu universitas ternama di Indonesia. Bahkan, bukan nominal gaji idaman setiap insan. Sekedar di ketahui, setelah lulus kuliah, gue bekerja di dua tempat. Sebagai staf paruh waktu di satu organisasi dan freelancer di organisasi lainnya. Total gaji yang gue dapat jauh dibawah upah minimum regional. 

Tahun pertama gue memulai karir di organisasi tersebut, keluarga gue masih rajin untuk menawarkan berbagai tempat untuk bekerja. Ada kenalan disini lah, disana lah. Gue tetap pada pendirian. Sebagian teman mengingatkan bahwa idealisme hanya berlaku pada saat status mahasiswa. Ketika berhadapan dengan realita, idealisme pun menguap dengan sendirinya. Namun, saat itu gue tetap bertahan. Gue punya komitmen untuk membuktikan pada semua orang bahwa kesuksesan atau kebahagiaan kita tidak ditentukan oleh penilaian orang terhadap kita. It's all about passion. Lo yang punya hak kemana lo akan berkarya. 

Belakangan gue dapet curhat dari seorang sahabat mengenai pengalamannya mendaftar sebuah lembaga penyalur beasiswa pendidikan. Dua kali dia mencoba dan dua kali juga dia tidak merasa kalau interviewer  mengarahkan temen gue itu menjadi apa yang ada di pikiran para interviewer. "Kenapa engga jadi dosen aja?", "Ngapain jadi entrepreneur?", dan sebagainya. Lho, kan temen gue daftar beasiswa untuk meng-upgrade potensi dia. Bukan malah dikerdilkan dan disuruh jadi apa yang interviewer mau. Lagian, emang ada salahnya jadi entrepreneur? Engga kan. Jadi dosen pun engga salah. Kalau temen gue maunya dan potensinya ada di dunia bisnis apa harus dipaksakan untuk menjadi dosen? Lip service untuk mendapatkan beasiswa itu? Kurasa tidak perlu. 

Sama halnya ketika lo dipaksa untuk jadi PNS atau bekerja di bank dengan iming-iming gaji besar dan jaminan pensiun. Memangnya pekerjaan menjadi pegawai sosial engga menjamin? Kalau semata-mata hidup lo untuk mengejar harta, selama itu pula lo engga bakal puas atau mensyukuri apa yang lo telah raih. 

Engga sedikit orang yang bertanya ke gue kenapa gue memilih pekerjaan ini. Gue bingung juga jawabnya. Intinya, gue merasa berdaya dan termotivasi untuk melakukan aktivitas-aktivitas seperti ini. Berbuat banyak hal baik untuk banyak orang dan lingkungan ketimbang buat diri gue sendiri, membuat gue lebih bahagia. Anggap saja itu jawaban yang muluk. 

Gue masih inget ketika mengikuti Kelas Inspirasi dua tahun lalu. Begitu didoktrinnya anak-anak bahwa profesi yang menjanjikan itu adalah jadi dokter, artis, dan pemain sepak bola. Gue masih inget saat orang tua tidak mengizinkan gue mendaftar ke sekolah musik. "Mau jadi apa nanti?". Begitu katanya. Lah, memang kalo jadi musisi kenapa? Takut mabok-mabokan? Pergaulan engga bener? Semua profesi kalau di kota besar juga begitu. Itu tergantung bagaimana lingkungan sekitar. Bukan karena profesi. 

Lalu, kenapa juga waktu masih kanak-kanak, cowok selalu diidentikan dengan warna biru dan cewek dengan warna pink. Kenapa engga warna cokelat untuk cewek atau warna merah untuk cowok? Atau warna lainnya? Apa salah warna-warna lain? 

Sistem pendidikan dasar kita secara tidak disadari mengerdilkan potensi kita, imajinasi kita, daya kreativitas kita. Sejak sekolah dasar atau bahkan taman kanak-kanak, kita harus selalu menuruti apa yang dikatakan guru. Guru bilang A, siswa harus bilang A juga. Engga heran, banyak manusia sekarang (ya, ini asumsi gue. bisa salah, atau bahkan bisa benar) banyak yang menjadi follower. Perhatiin aja deh kondisi sekitar lo. Minat dan bakat kita tidak diasah sejak dini. Alhasil banyak alumni kampus pertanian bekerja di bank. No offense. 

Sama halnya dengan pertanyaan sejuta umat: "Kapan nikah?". Orang-orang hanya ikut-ikutan karena pertanyaan itu jadi tren dan coba tanya ke dalam diri lo (buat lo yang pernah tanya hal beginian), sesudah lo tau jawabannya lo engga bakal ngapa-ngapain kan? engga penting banget kalo cuma sekedar basa basi. Opini orang itu berbeda-beda dan engga bisa disama ratakan. Dengerin apa kata hati lo, bukan karena omongan orang. 




No comments: