Akhir-akhir ini gue diganggu dengan kata "militan". Apa sih "militan" itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang diterbitkan Balai Pustaka; bisa diakses daring di http://kbbi.web.id/,
militan /mi·li·tan/ (adjektiva) bersemangat tinggi; penuh gairah; berhaluan keras: untuk membina suatu organisasi diperlukan orang-orang yang -- dan penuh pengabdian
Sudut pandang gue memaknai istilah "militan" ini adalah suatu sifat dalam diri manusia yang sangat bergelora dalam mendorong sesuatu. Konteks dalam tulisan yang kali ini gue angkat adalah militansi dalam kampanye lingkungan. Menurut KBBI,
militansi/mi·li·tan·si/ (kata benda) ketangguhan dl berjuang (menghadapi, kesulitan, berperang, dsb): kaum wanita harus mempunyai -- dalam ber-juang membangun masyarakat
Jika dihitung-hitung, gue menekuni kampanye lingkungan sudah tiga tahun lamanya. Usia yang masih terlalu muda untuk disebut sebagai sebuah konsistensi. Namun, kepada diri sendiri ini merupakan sebuah pembuktian terhadap panggilan hati. Bahkan sudah berani berkomitmen bahwa jalan inilah yang akan ditempuh selama menjadi manusia di bumi ini.
Berkaitan dengan istilah "militan" di atas, gue mau mencoba mengangkat fenomena militansi kampanye-kampanye lingkungan (termasuk orang-orang di dalamnya yang menggerakkan, bukan hanya organisasinya saja) di kelompok pemuda. Mengapa? Karena dalam 5 tahun terakhir, gue perhatikan cukup banyak kampanye lingkungan yang dimotori anak muda dan cukup populer di kalangan masyarakat. Tidak semuanya militan, tidak semuanya berkontribusi kepada masyarakat secara berkelanjutan. Bahkan, ada beberapa penggeraknya pun terlihat seperti menjalankan "tugas kepemudaan" pada usianya tersebut. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang sudah meninggalkan dunia kampanyenya itu tidak meneruskan perilaku gaya hidup ramah lingkungan yang dulu digembar-gemborkan. Di tulisan gue beberapa bulan lalu, pernah menyebutkan bahwa isu ingkungan sangat seksi untuk dijadikan bahan jualan. Bisa jadi, karena keseksian inilah yang menyebabkan tidak banyak organisasi lingkungan saat ini yang jauh dari kata militan. Bahkan untuk organisasi yang sedang gue jalankan saat ini.
Gue makin merasa malu saat menonton film dokumenter "Come Hell or High Water - The Battle of Turkey Creek", sebuah film dokumenter karya Leah Mahan, beberapa waktu lalu saat diundang Duta Besar Robert Blake. Film tersebut mengangkat kisah Derrick (ada kesalahan penulisan nama di tulisan Amerika dan Keadilan Lingkungan) yang memperjuangkan daerah tempat tinggalnya yang terancam alih fungsi lahan. Derrick berani meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang guru untuk memperjuangkan apa yang menjadi hak milik penduduk Turkey Creek. Bayangkan, selama 10 tahun Derrick berjuang untuk menyelamatkan lahan Turkey Creek agar tidak dialih fungsikan! Selama 10 tahun itu dia mengumpulkan keluarga, teman-teman semasa kecil, dan warga lainnya untuk bersama-sama menyelamatkan tempat tinggalnya tersebut. Bolak balik melakukan advokasi kepada pemerintah, melakukan beberapa aksi demonstrasi, dan lain-lain sebagainya. Hingga saat ini pun, Derrick masih memiliki komitmen terhadap Turkey Creek.
Mari berbicara kampanye lingkungan masa kini...
Gue engga akan menyalahkan siapa-siapa, karena mungkin tren untuk melakukan kampanye lingkungan yang digerakkan oleh anak muda saat ini berbeda. Meski anak muda memiliki semangat yang sangat tinggi, kami, anak-anak muda, pilih-pilih dulu mana yang paling engga membuat lelah. Maka dari itu, kami memilih media sosial untuk melakukan kampanye. Gue menggunakan "kami" karena di satu sisi masih menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarluaskan kampanye. Namun, jangan sesekali mengeneralisir kondisi seperti di atas. Banyak juga anak muda lainnya yang bahkan memilih jalan yang lebih militan. Bahkan militan dalam mendapatkan gelar tertentu. LOL.
Era digital saat ini, sadar atau tidak, menimbulkan dampak negatif dan positif terhadap kita sebagai pengguna. Bagi kampanye lingkungan, pemanfaatan media digital terlebih lagi media sosial dapat membantu makin meluaskan isu lingkungan sehingga kesadaran dan kepedulian masyarakat bisa meningkat. Meski, ada beberapa oknum yang memanfaatkan media digital ini sebagai arena narsisme yang menunjukkan bahwa dia telah melakukan kampanye lingkungan. Sesuai skenario atau sesuai panggilan hati, tidak diketahui secara pasti alasannya kecuali kita mengenal orang tersebut.
Bahkan, orang-orang dengan sifat "militan"-nya berjuang mendapatkan gelar sebagai duta lingkungan dimanapun yang akan lebih dikenal dan dipercayai ketimbang aktivis lingkungan yang sudah puluhan tahun berjuang.
Gue sendiri yang baru tiga tahun berkecimpung di kampanye lingkungan merasa belum melakukan sesuatu yang besar dalam melakukan perubahan berarti untuk keselamatan lingkungan. Gue kampanye lingkungan ke sekolah, ke tempat-tempat publik lainnya, di media sosial, dan lain-lain, tetapi kantong plastik tetap banyak digunakan. Militansi seperti apa yang dibutuhkan?
Gue menulis tulisan ini pun tidak akan berarti apa-apa jika gue tidak melakukan apa yang gue ungkapkan disini. Kita semua TIDAK hidup di dunia digital, tetapi hidup yang serba dilengkapi alat-alat digital. Kita ini makhluk yang nyata dan hidup di bumi yang nyata pula. Kita bisa lihat bahwa kerusakan lingkungan terjadi NYATA di depan mata kita. Bohong kalau ada yang tidak pernah mengalami kerusakan lingkungan. Perilaku membuang sampah sembarangan, menggunakan produk-produk yang memiliki kemasan sekali pakai, membakar sampah, dan lain-lain sebagainya adalah perilaku pemicu kerusakan lingkungan. Memang kita tidak sadar bahwa kita sendiri yang melakukan kerusakan lingkungan.
Ada beberapa aktivis lingkungan yang gue kenal termasuk aktivis yang militan. Bahkan beberapanya membangun organisasi sendiri dan memiliki konsistensi yang yahud. Komitmennya pun tidak perlu diragukan lagi. Coba kamu bayangkan, ada lho yang tidak pernah membeli pakaian bertahun-tahun lamanya karena paham keberlanjutan yang beliau anut. Bahkan, ada yang mengesampingkan urusan pribadinya demi kemaslahatan orang banyak.
Bukan pegiat lingkungan atau aktivis lingkungan atau menyebut dirinya seseorang yang peduli lingkungan kalau belum turun ke lapangan. Aktivis sosial media hanyalah buzzer yang tugasnya mengiklankan sesuatu. Aktivis lingkungan harus membuat perubahan berarti dan ada di lapangan, bukan di Twitter. Apa artinya kamu sering-sering kampanye di media sosial tapi perilaku kamu sendiri dalam isu lingkungan tidak ada? Lingkungan hidup tidak membutuhkan orang-orang dengan kemampuan lip-service yang mahir. Sama sekali tidak. Lingkungan hidup membutuhkan orang-orang yang memiliki komitmen tinggi dan konsisten dalam melakukan perubahan-perubahan NYATA dalam menyelamatkan kondisi lingkungan hidup.
Tidak ada yang instan di dunia ini. Kita hadir di dunia ini pun melalui proses yang kompleks dan membutuhkan waktu. Proses menjadi lebih baik adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Namun, kata "proses" jangan dijadikan alasan kalau tidak dibuktikan. Lagi-lagi, lingkungan hidup dan bumi tidak butuh orang dengan kemampuan lip-service. Banyak cara untuk menjadi aktivis lingkungan yang militan. Militan bukan berarti demo terus menerus atau cenderung anarkis. Namun, berkomitmen dalam melakukan perubahan-perubahan berarti dalam menyelamatkan lingkungan hidup dengan konsisten. Bukankah Tuhan menciptakan kita di dunia untuk menjaga bumi beserta isinya?
Jika kamu ingin mulai bersungguh-sungguh untuk menyelamatkan lingkungan, silahkan telusuri 8 kampanye pilihan gue, pilih dan ikuti kegiatannya yang sesuai dengan panggilan hati (penulisan angka bukan menunjukkan peringkat):
No comments:
Post a Comment