Akhir-akhir ini, gue menyadari bahwa salah satu kegagalan seorang aktivis adalah belum bisa mengajak keluarga dan sahabat terdekat untuk melakukan apa yang kita kampanyekan. Ini opini gue setelah mengamati diri gue dan beberapa teman sesama aktivis. Bisa terjadi pada aktivis lain, bisa juga tidak. Belum dilakukan penelitian yang cukup komprehensif untuk membuktikan ini secara ilmiah.
Sebenernya sudah dari kecil gue dekat dengan isu lingkungan. Nyokap adalah penyayang tanaman. Banyak tanaman di rumah yang dirawat, diperlakukan sama seperti anaknya. Tiap pagi dan sore beliau siram. Bokap sendiri adalah konsultan lingkungan di bidang konservasi hutan. Keahliannya adalah Geographic Information System. Jadi, engga heran gue terjebak menjadi Sarjana Pertanian. Secara tidak langsung, dari kecil, alam bawah sadar gue menerima rangsangan-rangsangan itu dari kehidupan sehari-hari dan pengaruh orang tua. Tidak menjadi kebetulan juga bahwa saat ini gue memilih menjadi aktivis lingkungan.
*kemampuan gue dalam menganalisis suatu kondisi, bisa membuat gue menyimpulkan ini fufufufufu*
Sudah tiga tahun gue mengampanyekan gaya hidup nol sampah dan diet kantong plastik. Untuk diri sendiri, gue merasakan perubahan yang terjadi. Dari yang tadinya suka minta kantong plastik kalau jajan ke warung atau minimarket, dari yang tadinya suka beli makanan berat yang dibungkus, dari yang tadinya selalu membeli air minum dalam kemasan plastik sekali pakai, dari yang tadinya ini itu, sekarang sudah mulai bisa ditekan. Sejak menjadi tahu tentang pentingnya gaya hidup nol sampah, sejak tahu konsep keberlanjutan, dan sejak memutuskan untuk mengabdikan diri dalam kampanye diet kantong plastik, ada tuntutan dalam diri sendiri untuk mencontohkan kepada orang lain bahwa perilaku seperti itu di atas tidaklah bijak dan perlu mengambil aksi yang nyata untuk menyelamatkan bumi ini sedang benar-benar sekarat. Setidaknya secara individu, gue sudah bisa menyontohkan beberapa hal.
Gue inget suatu hari di tahun 2010. Saat itu sedang pertemuan relawan kampanye zero waste oleh YPBB. Agenda saat itu adalah mengenai lingkaran pengaruh relawan kampanye. Ada berbagai versi yang saya ingat saat itu. Ada beberapa relawan yang mempercayai bahwa dengan mengedukasi keluarga terlebih dahulu sehingga memiliki perilaku yang ramah lingkungan adalah yang terpenting. Alasannya? Bahwa ini menjadi bukti nyata bahwa seseorang yang mengampanyekan suatu isu bisa membuktikan perkataannya. Namun, banyak juga relawan lain yang mengamini bahwa berkampanye di luar rumah dengan orang-orang yang bahkan tidak begitu dikenal jauh lebih mudah. Gue pun ada di kelompok kedua.
Bukannya kami-kami yang di kelompok kedua ini tidak melakukan apa-apa di lingkungan keluarga, tetapi karena kami TERLALU banyak melakukan kampanye di luar rumah, kami tidak banyak melakukan banyak hal di dalam rumah. Ralat, kami tidak punya waktu banyak di dalam rumah demi kemaslahatan orang banyak. Salah? Tidak juga.
Secara bertahap gue menyontohkan bagaimana belanja dengan menggunakan tas pakai ulang. Kalau nyokap lagi belanja bulanan, gue sebisa mungkin ikut dan membawa beberapa tas belanja yang dibutuhkan. Begitupun saat nyokap lagi belanja kebutuhan masak sehari-hari. Bahkan, gue sudah menyimpan beberapa tas belanja yang bisa dipakai berulang kali itu di rumah. Alhamdulillahnya tas tersebut terpakai, tetapi masih belum rutin. Kalau tidak diingatkan, mereka masih lupa.
Gue inget waktu masih kecil dulu suka ikut nyokap belanja ke luar rumah. Dulu, beliau selalu membawa kantong plastik berukuran besar yang agak tebal di dalam tasnya. Ternyata kantong plastik itu dipakai untuk memasukkan kantong plastik-kantong plastik kecil hasil belanja di beberapa toko. Alasannya, "biar engga kelihatan tetangga belanja banyak barang". Selain nyokap gue yang engga suka riya, dengan begitu bawaannya engga ribet. Nah, setelah gue kasih tas belanja pakai ulang, beliau sudah meninggalkan kebiasaannya membawa kantong plastik besar itu.
Adik gue, yang pasca lulus kuliah sempat keranjingan online shop, punya aksi juga dimana barang dagangannya dia dibungkus dengan tas kertas. Namun, belakangan gue perhatiin balik lagi pake kantong plastik. Mahal kali ya hahaha.
Dua tahun sejak gue menjadi relawan zero waste, gue memutuskan membeli keranjang takakura. Padahal engga mahal-mahal amat, tapi belum prioritas. Dengan modal kredit tiga bulan, akhirnya gue punya keranjang takakura di rumah. Seneng banget dan antusias banget punya itu. Gue pun menunjukkan kepada anggota keluarga terkait cara pakai keranjang takakura ini. Selama beberapa bulan nyokap dan adik gue bisa memakainya, hingga suatu hari ....
Gue pulang dari kantor dan menyaksikan ada suatu tumpukan di pekarangan rumah dan perasaan gue tidak enak. Pas masuk ke rumah, gue tanya, "itu kenapa takakuranya di luar gitu?". Nyokap gue bilang kalo keranjang takakura jadi sarang tikus makanya dibuang. Dalam hati gue pengen menjerit sekenceng-kencengnya. "TIGA BULAN KREDIT DAN DUA TAHUN MEMANTAPKAN BELI KERANJANG TAKAKURA DAN SEKARANG DIBUANG BEGITU SAJA!".
Satu hal yang gue sadari dan jadi renungan buat gue (dan mungkin juga teman-teman aktivis lainnya) adalah sekenceng-kencengnya kita koar-koar ke dunia luar terkait suatu isu, ada kegagalan (atau kebelumberhasilan) dalam dirinya sendiri. Keluarga dan sahabat yang tidak mengikuti aksinya bisa jadi "aib" yang harus diemban oleh aktivis lingkungan. Hal ini patut diakui untuk menjadi motivasi si aktivis untuk bisa selalu melakukan pelayanan sosial kepada siapapun dengan lebih baik dan bersemangat.
No comments:
Post a Comment