Friday 9 May 2014

Green issue is not for branding image!

Lip service. Satu hal yang sering saya temui dalam beberapa tahun belakangan. Maksudnya ini bukan memperbaiki bibir Anda, tetapi suatu bentuk aksi yang hanya dibibir saja. Pertama kali saya melihat fenomena ini adalah ketika saya mulai gencar mengikuti konferensi pemuda. Pada saat itu, dalam benak saya bahwa pemuda pemudi yang mengikuti konferensi seperti itu adalah orang-orang hebat. Tidak juga ternyata. Banyak yang memang hebat, tetapi banyak juga yang seperti saya ucapkan pada kalimat pertama. 

Hal ini saya rasakan saat konferensi-konferensi itu berakhir. Kenalan-kenalan saya yang mana mereka cukup aktif dan vokal saat konferensi ternyata banyak yang tidak berkontribusi apa-apa untuk masyarakat. Saya fokus pada isu lingkungan dan konferensi-konferensi yang saya ikuti pun kebanyakan memang membicarakan isu lingkungan. Terlihat sekali mana yang memang sebelumnya berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan dan mana yang memang cuma ikut-ikutan supaya keren. Dengan berbagai macam kerusakan lingkungan yang marak, hal ini akan sangat kentara sekali. Berbicara cukup vokal di berbagai macam konferensi, tapi tidak diikuti dengan melakukan apa yang kita ucapkan itu sama saja bohong. Entah apa yang mereka tuju untuk itu. Pencitraan? Bisa jadi. Atau hanya sekedar ingin berpendapat saja. Mungkin saja. Atau karena paradigma anak muda "kekinian" yang keren. 

Isu lingkungan itu seksi banget buat dijadikan bahan pencitraan. Saya pernah men-tweet hal ini di akun Twitter saya. Ada beberapa respons yang menggelitik karena ternyata mereka (followers) merasakan hal yang sama. Banyak yang mengambil isu lingkungan sebagai "fokus perhatian" berbagai pihak. Baik itu untuk perseorangan, korporasi besar, LSM, ataupun kontes-kontes pemuda maupun kecantikan yang mengusung isu lingkungan sebagai fokus mereka. Entah benar-benar fokus atau hanya lip service. Hanya mereka dan Tuhan yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. 

Dalam lomba debat tingkat pelajar atau mahasiswa mungkin lip service dibutuhkan untuk mengukur pengetahuan mereka. But, hey, ini bukan kontes. Kerusakan lingkungan nyata di depan mata. Bener-bener di depan mata. Coba cek berapa kali kita lihat sampah berserakan di depan mata. Itu baru sampah. Belum pernah lihat hutan yang dibabat dan digali begitu dalam untuk diambil sumber daya alamnya yang tidak bisa diperbaharui kan? Saya pernah melihat di Kalimantan Timur. Dan itu mengerikan. 

Masih belum paham sih kenapa akhir-akhir ini banyak sekali orang, terutama pemuda, untuk menjadi dikenal luas. Menjadi terkenal itu keren, katanya. Menurut saya, kalau lo memang berkontribusi nyata terhadap masyarakat, terlebih lagi lingkungan, "kepopuleran" itu akan menghampiri kok, bahkan terbentuk secara sendirinya. Tidak perlu dibuat-buat dan dipaksakan. Apalagi mengaku-ngaku. Please

Saya perhatikan kebanyakan penduduk Indonesia itu bertipe follower. Ada orang yang jadi terkenal karena ikut kontes ini itu, konferensi ini itu, terus jadi kepengen ikutan. Mau tahu engga salah satu rahasia supaya bisa lolos kontes atau konferensi? Beradalah di zona abu-abu. No good and bad.  There are nothing better. Every problem need to be solved. All problems are first priorityThen, lip service. Walau itu essay atau wawancara berlakulah bahwa kalian peduli terhadap banyak hal, bukan hanya satu. Misalnya, saya sebagai pewawancara menanyakan mana yang lebih penting untuk diselesaikan: persoalan sampah kota, banjir tahunan, atau pembabatan hutan. Jawabannya? Semuanya penting. Ya, Memang penting, tapi saat lo beraksi ke masyarakat, lo harus jadi spesialis yang memang bisa dipertanggungjawabkan komitmennya dan memiliki hasil yang berdampak positif. Karena satu isu itu banyak banget turunannya. Melakukan advokasi ke pemerintah, pendekatan kepada pihak swasta, berkegiatan kampanye, publikasi media online, dan melakukan riset bukan hal yang sepele. Itu yang menyebabkan mengapa kita perlu fokus di satu isu. Bukan tidak boleh memiliki fokus di banyak isu, tetapi pilih yang bisa dilakukan saat ini juga dan berkelanjutan tentunya. What footprints do you want to leave in this earth?

Gemes memang melihat orang-orang seperti itu yang terkadang membuat distraksi. Tak ada yang salah. Setiap orang memiliki tujuan hidupnya masing-masing. Hidup ini pilihan. Namun, yang pasti kita tahu bersama adalah pilihan mana yang memang tepat dan tentunya bukan lip service belaka. Ingat lagu "Man in the Mirror" yang dinyanyikan oleh mendiang Michael Jackson? Salah satu liriknya menyebutkan begini,

"If you wanna make a world better place
Take a look at yourself
And make a change"

Di akhir lagu pun, Jacko menegaskan dengan seruan, "Make that change!". Benar sekali. Perubahan itu dimulai dari kita. Kontribusi nyata kepada lingkungan sekitar untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik. Tak cukup hanya lip service, tetapi juga aksi nyata yang memang bisa dirasakan banyak orang. Lagi, tak bosan-bosan saya mengutip kalimat pengingat ini dari salah satu inspirator, the real princess, Miss Indonesia Earth 2009, Nadine Zamira Sjarief. Sebuah kalimat sindiran yang juga pengingat siapa kita di dunia ini. Tak peduli jabatan, status sosial, atau apapun, "a title is nothing without action".

Salam hijau,
Plastic Bag Diet Changemaker

No comments: