Friday 5 February 2016

Pernyataan Sikap “Waste to Energy” Teknologi Termal: Solusi Gegabah Pengelolaan Sampah

Pernyataan Sikap: “Waste to Energy” Teknologi Termal: Solusi Gegabah Pengelolaan Sampah

Selasa, 22 Desember 2015


Pengelolaan sampah jadi energi (waste to energy/W2E) untuk menyikapi permasalahan sampah kota dibahas dalam Rapat Kabinet Kerja di bawah pimpinan langsung Presiden Jokowi, Senin (01/12/2015). Presiden, dalam beberapa berita di media massa, meminta ‘penyederhanaan aturan untuk memudahkan investor W2E’ mempercepat proyek-proyek yang belum berjalan. Sayangnya, pernyataan Presiden Jokowi dalam rapat tersebut belum secara tegas menyikapi munculnya tren W2E dengan teknologi termal (termasuk insinerasi) di berbagai daerah yang belum didukung pertimbangan ilmiah, hanya menjawab persoalan jangka pendek, serta tidak mencerminkan kebijakan yang berkelanjutan, pro-publik dan pro-poor.

Kami, masyarakat sipill Indonesia, mewakili berbagai organisasi yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat, perlindungan lingkungan hidup, serta persampahan, menyayangkan sikap pemerintah yang terburu-buru menyambut tawaran investor untuk menggunakan teknologi pengolah sampah menjadi energi dengan teknologi termal (termasuk insinerator) tanpa mempertimbangkan dampak aspek keberlanjutan, pengurangan emisi CO2, kesehatan, lingkungan hidup dan circular economy. Hal ini terlihat di beberapa proyek W2E dengan teknologi termal yang telah direncanakan dan/atau dibangun di Kota dan Kabupaten Bandung, Kota Palembang, Kota Solo, serta Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Bali. 

Menyikapi hal ini, kami kembali mengimbau Pemerintah untuk mempertimbangkan segala kajian dan bukti ilmiah yang ada secara berimbang dalam memutuskan penggunaan W2E dengan teknologi termal, sebagai berikut:

1. W2E dengan teknologi termal bukan teknologi baru dan terbarukan. Teknologi termal seperti insinerator bukan merupakan energi baru, melainkan teknologi lama yang sudah banyak ditinggalkan. Tidak ada insinerator baru yang dibangun di US pasca 1997, disebabkan oleh tingginya oposisi publik, resiko kesehatan yang teridentifikasi, tingginya biaya operasional, dan meningkatnya praktek daur ulang serta pengomposan. Bahkan, beberapa negara telah menghapuskan insinerator karena dampak negatif insinerator terbukti signifikan. W2E juga bukan energi terbarukan, karena untuk mendapatkan kalor, W2E mengandalkan material plastik yang dibuat dari minyak bumi. Menyatakan bahwa W2E adalah energi terbarukan adalah kesalahan akademis yang fatal. 

2. Pemerintah wajib mensosialisasikan resiko kesehatan publik dan dampak insinerator terhadap kesehatan dan lingkungan hidup sebelum secara sepihak mengambil keputusan untuk mempromosikan W2E insinerator. Insinerator menghasilkan emisi dan lepasan pencemar organik persisten berupa dioksin dan furan, CO2 yang signifikan dan pencemar kriteria lainnya, serta logam berat seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), arsenik (Ar), kadmium (Cd) dalam gas buang yang dilepas dari cerobong. Seharusnya, pemerintah terlebih dulu melakukan kajian resiko kesehatan yang akan terjadi (prospective health risk assessment) dan menginformasikan kepada publik seberapa besar resiko kesehatan, kedaruratan, dan kecacatan, penyakit kanker serta penyakit terkait pernafasan yang dapat ditimbulkan. Lepasan dari fasilitas pembangkit sampah menjadi energi juga mengandung partikel halus yang dengan mudah masuk ke dalam rantai makanan dan berbagai jalur paparan lain. 

3. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) harus dikedepankan. Sudah saatnya Pemerintah menggunakan metode-metode modern untuk memperkirakan dampak sebelum muncul korban. Pola pikir lama harus ditinggalkan. Tidak perlu menunggu korban untuk perlindungan kesehatan publik. Selain itu, hasil studi dampak tersebut (atau kegagalan pemerintah untuk melakukan studi tersebut) harus disampaikan secara transparan dan proaktif kepada masyarakat yang akan terdampak, sebagai upaya preventif untuk memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi semua orang. 

4. Kebijakan pengelolaan sampah dengan W2E teknologi termal tidak harmonis dengan kebijakan persampahan dan energi yang lebih luas. Tujuh tahun sejak pengesahan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pemerintah belum membuat peta jalan pengelolaan sampah terpadu. Dengan demikian, sinkronisasi pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor sampah dengan rencana pengolahan sampah menjadi energi dalam konteks mitigasi perubahan iklim patut dipertanyakan. Selain itu, kebijakan mendorong W2E teknologi termal juga bertentangan dengan komitmen dan Rencana Implementasi Nasional Indonesia tentang Penghapusan Pencemar Organik Persisten sesuai mandat Konvensi Stockholm. Inventori lepasan dioksin di Indonesia tahun 2014 mencapai 9.881 g TEQ (toxicity equivalent), atau 7x lebih tinggi dibandingkan total dioksin di seluruh Amerika Serikat pada tahun 2000, bahkan sebelum Indonesia menerapkan W2E teknologi termal untuk mengolah sampah kota. Indonesia juga belum melakukan kajian mengenai kompatibilitas kebijakan pengelolaan sampah dengan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Pengelolaan Sampah dan UU Pangan. Selain itu, klaim bahwa teknologi termal pembakar sampah mengubah “sampah menjadi energi” menyesatkan. Dengan membakar sampah untuk mendapatkan energi, circular economy dan produksi dan konsumsi yang berkelanjutan tidak bisa direalisasikan. Analisis kelayakan W2E dengan teknologi termal belum memperhitungkan berapa besaran surplus energi dari sampah yang dibakar dibandingkan dengan total energi yang digunakan untuk ekstraksi, produksi, konsumsi dan proses pengangkuta material, dibandingkan dengan operasional dan perawatan dari suatu fasilitas W2E. Energi yang bisa dihemat melalui daur ulang dan pengomposan, bisa mencapai 4 kali lipat daripada yang diproduksi lewat insinerator atau teknologi termal lainnya. 

5. W2E teknologi termal tidak sinkron dengan mitigasi perubahan iklim dari sektor sampah/limbah. Bappenas sudah menyusun dokumen kerangka NAMAs (Nationally Appropriate Mitigation Actions) Indonesia pada tahun 2011. Dalam dokumen kerangka NAMAs, strategi sektor sampah dan limbah adalah mendorong peningkatan TPA menjadi sanitary landfill dengan tangkapan gas metana dan pemanfaatannya menjadi energi. Tidak ada rekomendasi pengolahan sampah dengan W2E atau incinerator dalam kerangka NAMAs. Dokumen Bappenas lainnya, Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap/ICCSR (2009) yang berlaku sampai 2030, juga menyatakan hal senada: daur ulang, pengomposan, dan sanitary landfill untuk mitigasi gas rumah kaca. 

6. Pemerintah masih memiliki tunggakan regulasi untuk memitigasi dampak penerapan W2E teknologi termal. Ketika Presiden menghendaki penyederhanaan aturan, beberapa peraturan penting yang seharusnya menjadi prasyarat operasionalisasi W2E teknologi termal justru belum ada. Hal yang paling dasar yaitu kriteria penempatan lokasi W2E teknologi termal belum memiliki kajian teknis, melainkan masih disamakan dengan kriteria lokasi TPA sampah kota dengan teknologi sanitary landfill. Mandat UU Pengelolaan Sampah No. 18 tahun 2008 agar Pemerintah Daerah menetapkan NSPK (norma, standar, prosedur dan kriteria) sampah layak bakar serta mandat pembuatan PP larangan membakar sampah yang dapat menyebabkan pencemaran udara belum dilrealisasikan, terlebih lagi pertimbangan-pertimbangan berdasarkan analisis resiko lingkungan. Selain itu, mandat UU Pengelolaan Sampah agar peraturan pemerintah mengatur lebih lanjut tentang larangan mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan juga belum tunai. Lebih jauh lagi, baku mutu lepasan logam berat dan bahan organik persisten dari insinerator sampah belum diatur dalam PP Pengendalian Pencemaran Udara untuk memitigasi pencemar udara berbahaya dan beracun. Dengan demikian, tidak ada satu pun lembaga Pemerintah yang akan bertanggungjawab memantau lepasan dioksin secara teratur dari sumber pencemar maupun di udara bebas. Pemantauan oleh masyarakat sipil pun akan sangat sulit dilakukan, karena tidak satu pun laboratorium di Indonesia dapat menganalisis parameter dioksin. 

7. Sejak kemunculannya, insinerator telah menjadi simbol ketidakadilan lingkungan di berbagai negara. Keputusan menempatkan tempat pembuangan akhir (TPA) telah diasosiasikan dengan kemiskinan dan kelompok termarginalkan yang tidak memiliki cukup modal sosial untuk menolak keputusan Pemerintah. Bahkan masyarakat Cina di beberapa kota melakukan aksi dan protes yang berujung kekerasan. Pengolahan sampah dengan teknologi termal seperti insinerasi membawa dampak kesehatan jangka pendek dan jangka panjang yang cukup signifikan. Teknologi W2E insinerator tetap membutuhkan TPA/landfill karena residu atau sisa pembakaran (25-30% dari jumlah sampah) yang mengandung racun - yang bahkan lebih berbahaya dibandingkan produk asal - masih perlu dibuang ke tempat lain. 

Sehubungan dengan alasan-alasan di atas, kami menuntut Pemerintah untuk melakukan moratorium pembangunan insinerator, hingga mampu: 

1. Melakukan kajian kompatibilitas kebijakan W2E teknologi termal terhadap prinsip kehati-hatian (precautionary principle), serta UU Pengelolaan Sampah, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Kesehatan, UU Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU Sumber Daya Air, UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Anak, UU Persaingan Usaha, beserta seluruh peraturan turunannya. Selain itu, juga kompatibilitas kebijakan ini terhadap komitmen internasional Indonesia dalam Konvensi Stockholm tentang Penghapusan Pencemar Organik Persisten, Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (termasuk Perjanjian Paris COP-21 yang baru), Konvensi Hak-hak Anak, dan segala produk hukum yang dibuat Indonesia sebagai konsekuensi konvensi-konvensi tersebut; 

2. Merampungkan kajian resiko kesehatan dan lingkungan hidup dari pembangunan tiap W2E teknologi termal (khususnya insinerator) yang telah direncakan dan/atau telah berjalan, termsuk dampak pencemar organik persisten dalam rantai makanan dan jalur paparan lainnya. Kajian ini harus meliputi resiko kematian, kedaruratan, dan kecacatan/penyakit karena kanker serta penyakit pernafasan yang ditimbulkan lepasan pencemar udara beracun serta SO2 dan partikel halus (PM 2.5) dari tiap proyek insinerator yang direncanakan, dengan membandingkan terhadap jarak paparan dan jumlah populasi terdampak. Setidaknya, rentang waktu studi mencakup resiko prospektif dalam 25 tahun ke depan; 

3. Secara transparan dan proaktif mempublikasikan hasil kajian sebagaimana disebutkan dalam Poin 2, termasuk sosialisasi dampak dan peningkatan awareness masyarakat dengan cara penyampaian yang mudah dimengerti, serta transparansi hingga level data kajian untuk memungkinkan telaah sejawat kajian ilmiah tersebut oleh komunitas ilmuan secara luas; 

4. Melakukan implementasi peraturan dan penegakan hukum terhadap alternatif pengelolaan sampah lainnya, termasuk pengurangan dan pemilahan sampah dari sumber, pengolahan kembali sampah dan pengomposan sampah serta alternatif lain yang lebih ramah lingkungan dan bahkan sudah diatur konsepnya didalam UU Pengolaan Sampah. Pemerintah harus mampu menunjukkan bahwa semua alternatif lain telah dilakukan dengan baik sebelum sampai di kesimpulan bahwa perlu penggunaan insinerator sebagai solusi terakhir; 

5. Menjaring partisipasi dan persetujuan masyarakat terdampak, setelah dibekali dengan informasi yang sebenar-benarnya, terhadap pembangunan insinerator sampah kota di dekat lokasi tempat tinggal mereka; 

6. Menunjukkan kepada publik secara luas bahwa proyek W2E dengan teknologi insinerasi akan membakar sampah layak bakar, mampu memisahkan bahan beracun dan berbahaya dari sampah semaksimal mungkin, serta akan menghasilkan energi yang signifikan dibandingkan dengan bahan bakar yang digunakan untuk membakar sampah; 

Jika hasil studi-studi di atas menunjukkan dampak negatif yang signifikan dari insinerator dbandingkan dengan dampak positifnya, maka kami meminta Pemerintah untuk berkomitmen mengesahkan produk hukum yang melarang pengelolaan sampah kota dengan teknologi insinerasi, termasuk sebagai W2E.

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan agar menjadi pertimbangan semua pihak, terutama bagi Pemerintah untuk menyusun skala prioritas di tahun 2016.

Contact Person: 
Yuyun Ismawati, BaliFokus – (WA) +447583768707 
Margaretha Quina, Indonesian Center for Environmental Law – 081287991747 
Dadan Ramdan, WALHI Jawa Barat – 082116759688 

Penandatangan Pernyataan Sikap: