Sunday 20 March 2016

Mengapa saya tetap menggunakan transportasi publik?

Karena ga bisa mengendarai sepeda, motor, dan mobil. Udah gitu aja jawabannya. Ahahahahaha. Well, cerita detilnya adalah sebagai berikut:

--------------------------------------------------------------------------------------------------


Sejak kecil, gue engga diajari mengendarai sepeda hingga tuntas. Pernah sih sekali dua kali, tapi saat itu karena nyokap gue yang ngurus dan bokap kerja di luar pulau, jadi bukan prioritas nyokap untuk mengajari gue. Ditambah lagi, saat itu rumah di pinggir jalan raya di daerah Antapani, jadi agak khawatir juga kalau main sepeda di jalan raya. Alhasil itu terjadi bertahun-tahun hingga akhirnya ga kerasa gue udah gede aja. 

Hal itu berlanjut dengan mengapa gue engga tertarik mengendarai motor atau mobil. Padahal, di rumah tersedia kedua jenis kendaraan tersebut. Pernah sih beberapa kali belajar motor dan mobil, cuma karena suara hati tidak sinkron, jadi engga berlanjut. Hingga kini. Satu hal abstrak yang melatarbelakangi ini semua: takut kondisi jalan raya. Cemen sih, tapi ya udah lah ya, masalah juga buat lo? Wkwkwkwkw. 

Seakan semesta ini mendukung keputusan gue, melalui Pelatihan Kompas Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh YPBB pada tahun 2013 menjawab alasan gue mengapa engga menggunakan kendaraan bermotor secara ilmiah. Bertahun-tahun belakangan ini, seluruh dunia dihantui dengan isu pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim secara drastis. Salah satu pemicunya adalah emisi karbon. Emisi karbon ini salah satunya diperoleh dari asap kendaraan bermotor. Sumber lainnya adalah dari asap-asap yang dihasilkan aktivitas pabrik, pembakaran sampah, kotoran hewan, dan lain-lain. 

Jejak-jejak karbon tersebut terperangkap di bumi sehingga menyebabkan kondisi di bumi memanas. Jika kita ingat pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolah dulu mengenai fotosintesis, sebetulnya karbon ini bisa diserap oleh tanaman sebagai makanan mereka. Karbon dioksida yang merupakan sumber makanan untuk tanaman ini akan dikonversi menjadi oksigen dan energi, yang berguna bagi makhluk hidup lainnya. 

Namun, semakin berkurangnya ruang-ruang terbuka hijau yang bisa menangkap karbon-karbon tersebut menjadikan suhu bumi meningkat. Padahal hal tersebut bisa ditanggulangi dengan menjaga ruang-ruang hijau. 

Menyadari fakta sederhana tersebut, menjadikan alasan terkuat mengapa engga mau pakai kendaraan bermotor, gue hingga sekarang lebih memilih untuk menggunakan transportasi publik. Dari mulai angkot, elf, bis kota, taksi, bahkan ojek segala jenis pun gue gunakan semaksimal mungkin. Gue berprinsip untuk tidak menambah beban ekologis bumi ini demi kepentingan pribadi semata. Ada kepentingan publik secara luas yang harus dijaga demi kenyamanan planet bumi ini. 

Semenjak pindah ke Jakarta, gue tetap menggunakan transportasi publik. Meski sebetulnya tidak senyaman di Bandung, tetep gue jabanin. Dengan kondisi udara di sini yang tidak sebagus Bandung, dimana lo bisa kumel maksimal kalo berjalan terlalu lama di tempat terbuka, gue harus berusaha untuk tidak menambah beban ekologis di sini. Udah numpang cari harta, masa mau numpang ngerusakin juga. Jumlah kendaraan di Jakarta ini banyak banget jadi lo bakalan emosi tingkat tinggi kalau bawa kendaraan sendiri. Jadi, gue memilih untuk menggunakan fasilitas publik yang disediakan. Meskipun banyak yang beralasan bahwa transportasi publik yang ada saat ini tidak nyaman dan aman, lalu siapa lagi kalau bukan kita yang bisa membuat transportasi publik itu nyaman dan aman?


Kita bisa melakukan banyak hal untuk menyelamatkan planet bumi ini dari kerusakan. Pertanyaan pertama adalah: maukah kita melakukannya?  


1 comment:

Reta Yudistyana said...

Sesungguhnya gue pun ingin menjaga komitmen 'terus menggunakan transportasi publik', tapi apa daya ternyata nggak semua daerah menyediakan fasilitas itu untuk masyarakatnya. Tapi masih bisa diatasi dengan tebeng-menebeng sih :))