Thursday, 9 July 2015

Antara Ojek, Gojek, dan Grabbike

Akhir-akhir ini orang-orang ramai membicarakan ojek, Gojek, dan Grabbike. Semuanya jadi "tim ahli" dadakan mengomentari isu ini. Hebat. Gue juga gak mau ketinggalan. Sebagai pengguna ketiga jenis fasilitas ini, gue mau mengulas berdasarkan pengalaman yang dialami sendiri (bukan berdasarkan kondisi ideal atau opini orang lain). 

1. Ojek
Gue selalu pakai ojek sejak SMP. Jarak dari rumah sampai depan komplek cukup jauh, jadi gue selalu pake ojek. Selama pake ojek, pengendara hanya memiliki satu helm saja. Jadi, si penumpang gak pakai helm. Namun, kalo gue lagi buru-buru, si ojek selalu memberikan helm untuk gue pakai. Ini adalah kejadian di Bandung. Harga yah cukup tinggi dibanding pakai angkot (yaiyalah!). 

Beda halnya dengan di Jakarta. Selain si pengendara sering banget melewati jalan satu arah, gue sebagai penumpang ga dikasih helm untuk dipakai. Mengendarainya pun rada horor. Juga selalu nerobos lampu merah atau berhenti menutupi zebra cross. Harganya pun kadang lebih tinggi daripada taksi (yang mana akhirnya gue lebih memilih taksi). 

2. Gojek
Udah lebih dari 3 kali pakai jasa ini. Lagi hipster banget di Jakarta. Udah dari 2013 sih gue tau ada Gojek, tapi dulu masih manual by phone. Gue pake ini karena lagi masa promo aja haha. Kemana-kemana hanya 10.000 rupiah saja. Plus, kalau merekomendasikan ini ke teman, dengan menggunakan referral code, gue bisa dapet tambahan Gojek Credit. Serunya lagi, selain dikasih masker penutup hidup dan mullut dan penutup kepala (tentunya helm juga harus dipakai), pengendara Gojek menurut gue punya etika berkendara yang baik. Misalnya saja, tidak menerobos lampu merah, tidak menghalangi zebra cross, tidak memasuki jalur satu arah, dan jika melewati jalanan yang tidak rata akan berhati-hati. Dibandingkan ojek konvensional (poin nomer 1), gue akan memilih Gojek. 

3. Grabbike
Sebelum ada Grabbike, gue pake Grabtaxi, lumayan potongan harga. Hehehe. Nah, gue udah tiga kali pake jasa Grabbike, karen lumayan nih promonya cukup bayar 5000 rupiah saja. Hehehe. Selama tiga kali pake Grabbike, yang gue alami adalah selain dapet masker dan wajib menggunakan helm, pengendara melewati jalan satu arah, pas lewat jalanan tidak rata engga hati-hati, dan menerobos lampu merah/menghalangi zebra cross/diem di tengah persimpangan. Dibanding Grabbike, gue pilih Gojek. 

Namun, dibanding ketiga di atas, gue tetep pilih bis (kopaja, metromini, atau Transjakarta) untuk berkendara di Jakarta dan angkot untuk berkendara di Bandung (meski tarif angkot semakin melambung). Selain harga cukup terjangkau, mengendarai transportasi publik macam itu akan mengasah emosi sosial kita. Hehehehe. 

Sekian ulasan dari saya. Silahkan pilih transportasi publik yang sesuai dengan profil Anda. Ciao!

*jangan lupa untuk mempertimbangkan jejak karbon yang akan ditinggalkan*

No comments: