Monday 22 June 2015

Kembali ke alam, kembali ke gelas

Jum'at lalu, di talkshow "Gerakan Generasi Lingkungan" pada perhelatan Pekan Lingkungan Hidup 2015 yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan, salah satu pembicara mengungkapkan bahwa plastik tidak bisa didaur ulang lagi setelah dua hingga tiga kali didaur ulang. Selain karena penguraiannya yang sangat lama di alam, hal itu yang menjadi dasar beliau menciptakan kantong plastik "ramah lingkungan" yang berjenis oxo-degradable dan bio-degradable. Namun, menurut gue itu bukan solusi satu-satunya untuk mengurangi sampah plastik.

Beberapa minggu lalu, gue diundang dalam peluncuran "Glass is Life", sebuah gerakan yang mengangkat kembali penggunaan bahan berbahan kaca untuk aktivitas sehari-hari. Glass is Life meyakini bahwa kemasan kaca adalah material yang murni, sehat dan alami, merupakan jenis kemasan yang lebih baik bagi makanan dan minuman yang dikemasnya, lebih baik bagi kita dan lebih baik bagi lingkungan hidup kita (Sumber: http://glassislife.co.id/tentang-o-i/#sthash.47oW5G6z.dpuf). Saya pun setuju dengan ini. Kaca jauh lebih baik daripada plastik. 

Blogger Gathering "Glass is Life" Indonesia di Cowork.inc, Kemang.

Kalau kita memetakan daur hidup kaca dimulai dari hulu, kaca terbuat dari pasir, batu kapur, dan soda ash/sodium karbonat. Bahan-bahan ini lah yang membuat kaca bisa didaur ulang terus menerus dengan kualitas yang sama dan hanya menambahkan sedikit bahan baku baru pada proses daur ulangnya. Bandingkan dengan plastik yang kualitasnya menurun setiap kali didaur ulang, juga plastik "ramah lingkungan" yang tetap menggunakan bahan baku plastik baru setiap kali pembuatannya dan hanya menambahkan persentase yang sedikit untuk bahan yang mereka sebut "oxo" atau "bio". Dari bagian hulu saja kita bisa memilih mana yang lebih "ramah lingkungan".

Di tahun 2011, sampah kaca di DKI Jakarta mencapai volume 1,91%  dari total sampah (Sumber: http://data.go.id/dataset/persentase-komposisi-sampah-dki-jakarta/resource/4b656146-0997-4994-839a-edf962dd18f6). Bandingkan dengan plastik yang mencapai 13,25%. Masyarakat jaman sekarang, karena "dipaksa" hingga masuk alam bawah sadar, oleh perusahaan kapitalis untuk menganggap bahwa air minum dalam kemasan plastik sekali pakai itu adalah suatu kebutuhan, banyak yang terpedaya sehingga tak sedikit dari masyarakat yang selalu membeli air minum dalam kemasan plastik sekali pakai setiap hari (Referensi: http://storyofstuff.org/movies/story-of-bottled-water/). Pilihan untuk minum air 'kan bukan hanya di botol kemasan sekali pakai? Bisa beli di galon yang lebih banyak menyimpan air dan bisa diisi ulang berkali-kali, lalu kita bawa minuman dengan tempat minum sendiri. Beberapa rekan gue, dalam rangka menolak komersialisasi air (karena seharusnya air itu didapatkan secara gratis) menggunakan filter air untuk minum sehari-hari. Itu di Bandung, karena di Jakarta tidak bisa menggunakan filter air. Sumber air masyarakat Jakarta sangat kotor. Sungai sudah tercemar. 

Di Amerika Serikat, persentasi daur ulang sampah plastik adalah 1% dari total sampah plastik. Di Indonesia, asumsi gue, mungkin di bawah 1%. Solusinya bukan membuat plastik-plastik yang cepat terurai dengan embel-embel ramah lingkungan dan mendapatkan sertifikat yang hanya diberikan kepada satu perusahaan itu saja (eh!), tapi memilih bahan pengganti lain yang memang benar-benar ramah lingkungan. Kalau memang cinta lingkungan, pasti akan berpikir yang terbaik bagi alam. Bukan demi rupiah. 

Contoh yang bisa diceritakan adalah produk "Suwe Ora Jamu". Produk ini dikemas dalam botol kaca. Lebih menariknya lagi, produk ini sudah menerapkan extended producer responsibility (EPR), yaitu adanya sistem untuk mengembalikan botol kepada produsen dan mendapatkan cash back sebesar Rp2.500,-. Wow, bahkan perusahaan global pun belum banyak yang mau menerapkan seperti ini (kecuali The Body Shop dan Kiehl's, yang saya tahu). Botol yang dikembalikan akan didaur ulang oleh produsen dan digunakan sebagai kemasan baru. 

Rasa yang enak dan kemasan yang ramah lingkungan.

Beda dengan perusahaan kantong plastik "ramah lingkungan" yang mengklaim bahwa tindakan EPR yang mereka lakukan adalah dengan membuat produk "ramah lingkungan" yang akan hancur dalam waktu dua tahun (itupun tergantung media pembuangannya). Mungkin mereka lupa, kantong plastik "ramah lingkungan" itu sangat tipis dan masyarakat cenderung meminta lebih untuk membawa barang belanjaan dengan alasan supaya tidak sobek. Itu artinya penggunaan dua kali lebih banyak, bahan baku plastik dua kali lebih banyak digunakan, dan sampah dua kali lebih banyak. Bayangkan jika dalam jika kita masing-masing menggunakan kantong plastik "ramah lingkungan" dalam sehari sebanyak dua lembar, sama dengan 60 lembar dalam sebulan, dan 720 lembar dalam setahun. Dalam dua tahun ada 1.440 lembar kantong plastik. Kantong plastik "ramah lingkungan" itu akan hancur "dengan sendirinya" dalam kurun waktu dua tahun. Satu lembar kantong plastik akan hancur dalam dua tahun. Bisa hitung kapan kantong plastik "ramah lingkungan" yang kita gunakan selamadua tahun itu akan hancur? Kalikan dengan jumlah warga Indonesia yang menggunakan kantong plastik yang sama. Ditambah lagi, pengelolaan sampah masih belum baik. Buang sampah masih dicampur, lalu sampah masih ditimbun di tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Itu baru kantong plastik. Botol plastik? Meski banyak yang mau menerima, suatu saat mereka tetap harus dibuang karena sudah tidak layak lagi didaur ulang. 

Ffrash, salah satu komunitas di Bekasi, yang memanfaatkan botol-botol kaca untuk di-upcycle. Memberdayakan anak-anak muda untuk menghasilkan sebuah karya seni yang indah dari botol-botol kaca bekas. Ini lebih bagus ketimbang membuat karya dari kemasan plastik dengan berbagai macam merek. Botol-botol kaca yang sudah tidak terpakai nantinya bisa didaur ulang lagi. Kemasan plastik, meski dibuat kerajinan ini itu, tidak bisa didaur ulang (karena bersifat multi layer) dan akan menjadi sampah. Berat? Engga ah sama aja. Takut pecah? Engga ah, emangnya lo banting-banting tas lo? Kaca sama plastik sama-sama bahan anorganis. Plastik, meski terbuat dari minyak bumi, tetapi telah diubah secara buatan oleh manusia hingga rantai karbonnya panjang. Masih engga paham yang menyebut plastik itu organik. Tuhan tidak menciptakan plastik, Bu. Human does

Karya Ffrash yang kece bingit. 

Pilihan ada di tangan Anda. Jadilah konsumen yang BIJAK. Jangan terpedaya dengan iklan "ramah lingkungan". Cari tahu sendiri dan pilih sendiri. Ciao!

No comments: